Menjalani sesuatu yang terus-terusan terkadang buatmu bosan. Ya kan?
Bukan tentang Mencintainya. Ini adalah cerita tentang penolakan keluarga dari pihak pasangan.
Aku, satu dari antara banyaknya jiwa yang pernah atau sedang mengalami, hal ini bukanlah pertama kalinya terjadi dalam hidupku. Sebenarnya aku sudah bosan ditolak. Tapi inilah aku.
Sebelum jatuh cinta, aku selalu siap menerima resiko. Aku juga siap memberi sebanyak-banyaknya cinta yang bisa aku beri. Dan aku siap jatuh kemudian bangun lagi karena disakiti. Tapi yang ini berbeda. Aku menua, aku tak lagi sama. Aku ingin mencintai dan dicintai olehnya lebih lama lagi dan selamanya. Aku ingin terbangun dipelukannya, mencium pipi dan mengucapkan selamat pagi, mencium punggung tangannya setiap hendak beraktivitas, menyiapkan kopi, snack pagi hingga makan malam, memijit dan mengusap-usap kepalanya sebelum tidur dan kemudian tertidur di pelukannya kembali.
Tidak pernah ada kata terlambat, meski begitu, aku merasa terlambat menjalani satu hal yang sebenarnya aku yakini sejak lama tapi aku takut untuk melangkah.
Kekasihku muslim, dan aku kristiani. Aku ber-syahadat baru setelah 3 tahun lebih kami berhubungan.
Waktu itu, tanggal 28 Maret 2013, lewat seorang teman Mama aku dikenalkan oleh seorang Ustadz. Keesokan harinya, aku langsung memberanikan diri untuk berangkat menuju pondok pesantrennya di sekitar Jl Sememi menuju ke Gresik. Ditemani oleh Mama dan temannya, aku tidak mengatakan padanya bahwa aku hendak berikrar, aku jujur aku juga tidak ingin dianggap hanya "demi dia".
Kenyataannya, proses Ikrar yang cepat tanpa adanya pelatihan kini membuatku kesusahan. Surat memang sudah ditangan, namaku mungkin sudah tercatat sebagai Hamba-NYA. Tapi hanya lewat buku dan mp3 aku mendengar dan belajar. Doa-doa tertentu pun aku belum hafal. Aku belum berani mengakui pada dunia, kini aku beragama Islam, karena aku tahu aku belum sepenuhnya menjadi umat yang sempurna.
Aku menutupi dari teman-teman, baik yang diluar maupun didalam kantor. Keluargaku sendiri sangat menghargai adanya perbedaan, jadi mereka mendukung asalkan aku benar-benar serius menjalaninya.
Beberapa hari lalu, kekasih mengajakku kerumahnya. Ya, setelah hampir 4 tahun. Sebenarnya mereka orangtuanya sudah tahu bahwa anaknya "berteman" denganku. Ternyata, sampai aku bertemu mereka lagi, aku masih diharapkan hanya berteman saja dengan anaknya.
Islam memberi sebuah "beban" kepada seorang lelaki yang menjadi suami dan ayah. Dosa istri dan anak-anaknya lah yang akan Ia tanggung. Surga pun akan Ia miliki jika istri dan anak-anaknya taat padanya. Kebetulan Bapaknya memiliki 3 anak, lelaki semua (dan aku mencintai salah satu anaknya), anak-anak lelakinya itu harus menjadi teladan bagi orang tua dan istri serta keluarganya. Sebagai seseorang yang baru belajar, aku paham.
"Bapak ini termasuk Tokoh Masyarakat. Gini-gini Bapak punya 200 Santri disini. Apa kata orang-orang kalau tau anaknya memilih perempuan yang berbeda keyakinan"
"Aris usianya masih 25. Kakak-kakaknya menikah diusia 29. Bapak juga menikah diusia 29."
"Iya memang mualaf. Tapi nanti entah anakmu, cucumu, atau keturunanmu yang selanjutnya bisa saja kembali ke jalan itu."
"Kalau KTP belum ganti dan belum bisa sholat, ya belum Islam."
"Saya ini istilahnya sudah menunggu waktu. Sudah tua. Saya juga ga peduli anak saya menikah dengan orang yang cantik, jelek, kaya, miskin yang penting keyakinannya sama."
"Bapak ga apa-apa kalo kalian berteman. Sampai kapanpun berteman. Ga apa-apa. Jadi tolong ya dipikir yang matang-matang."
Aku sudah tahu kemana arah pembicaraan ini. Aku mualaf atau tidak, aku sudah dianggap tidak memiliki darah Islam dari sejak awal karena para leluhurku. Ingin rasanya aku ceritakan semua, tapi selama itu aku cuma bisa tersengguk-sengguk menahan airmata dan ingus tumpah membasahi seluruh wajahku.
Aku anak perempuan pertama Eko dan Etty. Eko anak pertama dari pasangan Bapak dan Ibu Samingoen Wirjoatmodjo, Etty anak pertama dari pasangan Bapak dan Ibu Benny Tedja Surya. Mungkin karena mereka berdua berinisial E, mereka memutuskan anak-anaknya berinisial F. Seiring dengan usiaku yang bertambah, aku mengetahui bahwa Oma dulunya Islam, karena kemudian menikah dengan Opa, beliau mengikuti keyakinan Opa. Saat Eko dan Etty menikah pun melalui gereja dan menjalani akad menurut Islam juga.
Memang perbedaan tak selamanya indah. Mungkin suatu kebahagiaan ada masanya. Dan rumah tangga mereka pun berakhir tepat diusiaku yang ke 11. Dadaku masih rata, mens-pun aku belum. Aku tumbuh dengan memilih sendiri miniset yang sampai SMP pun masih kedodoran, memasang pembalut sampai berlapis-lapis karena saking takutnya menembus rok sekolah. Betapa ga enaknya jadi perempuan yang sudah harus ditinggal orangtua diusia segitu. Aku tidak memiliki kekuatan mempersatukan mereka kembali.
Sebagai anak yang merasa kurang perhatian dan tidak memiliki kemampuan membahagiakan orangtua di kala muda, aku menginginkan calon mertua yang sangat sayang dan akan aku sayangi sepenuh hati seperti orangtuaku sendiri. Tapi ternyata hidupku belum juga dimudahkan. Atau mungkin akunya saja yang mempersulit. Karena bebereapa waktu lalu aku mengetahui, ternyata Etty bukan anak pertama dari Bapak Benny, tapi dari Bapak Bambang, orangtua kandung Etty yang wafat dalam tugas sebagai Angkatan Udara. Dan Beliau Islam. Etty pun menuruti untuk berpindah agama karena Opa, tapi di masa tuanya Ia kembali pada Allah. Jadi sebenarnya aku ini ga ada darah kristiani?. Aku memang dibaptis sejak bayi, tapi darah tetaplah darah. Aku pun tidak membenci apapun yang diajarkan, malah dari situ aku kagum atas toleransi antar umat beragama. Dan jika kemudian aku kembali berjalan di jalan Allah, mungkin memang karena dari situlah aku diciptakan.
Aku merasa akan dianggap mencemarkan keturunan Bapak jika kekasihku nekat menikah denganku. Karena Bapak mengucapkan apa saja yang pada intinya tidak membolehkan kami bersama. Kata-kata itu terngiang-ngiang di kepalaku dan kapan saja mampu menumpahkan airmataku kembali.
Tapi aku ingat dia, kekasihku. Tak hentinya dia membelaku dihadapan orangtuanya sampai aku harus menepuk pelan pahanya untuk membiarkan Bapak menyelesaikan kata-katanya. Dan kemarin, untuk kesekian kali aku membuatnya menangis, aku tahu kali ini tangisannya yang paling memilukan buatku. Bukan hanya karena aku melihatnya langsung, dan bukan karena aku telah mengkhianati dan menyakitinya. Aku adalah perempuan pertama dalam hidupnya yang berbeda semua-muanya yang bisa membuat dia berkata, "Jangan tinggalin aku, hunz. Kita pasti bisa jalani ini. Aku sayang kamu..."
Kami berpelukan dan menangis bersama. Dia lelaki tegar dan sabarnya luar biasa terhadap aku. Dan kali ini dia tidak bisa menyembunyikan emosinya. Suasana mendadak sendu dan menyayat hati. Yang terdengar cuma isakan kami dan sebutan "YA ALLAH" yang berkali-kali terucap dari mulutnya. Dalam tangis aku berdoa, "Ya Allah, ampuni aku karena telah meminta ini padaMU. Jangan biarkan siapapun memisahkan kami kecuali oleh Engkau ya Allah."
Segala tamparan dan cobaan tak lain dan tak bukan adalah untuk menguatkan kami. Ini belum seberapa dengan apa yang mungkin akan kami hadapi di hari lain.
"Kamu yakin sanggup jalani rumah tangga sama anak saya nantinya," tanya Ibu.
"InsyaAllah Sanggup Bu." jawab saya percaya diri.
officehour with tears 27/8/13