Lelaki ini.
Hingga hari ini masih jadi satu hal pertama yang aku ingat setiap kali membuka mata.
Walau ketika kulihat ponselku, tak ada balasan atas pesanku semalam atau ucapan selamat pagi lagi.
Aku jadi ingat. Ketika mencetak absensi periode 3 minggu lalu, catatan keterlambatanku minim sekali.
"Thiya,
apa benar telatmu cuma 2 kali saja sebulan ini?. Saya juga punya
catatan loh, dan di catatan saya kamu telat lebih dari ini"
Ibu manager HRD sampai tidak percaya aku bisa datang tepat waktu saking seringnya aku harus
dipanggil dan dinasehati perkara terlambat ini. Dan sepertinya dia tidak
terima kalau hanya harus memotong 2% dari gajiku bulan ini sebagai
"hukuman" atas keterlambatan.
Di bulan September, aku jarang
terlambat. Dan seingatku aku terlambat banyak menit ketika harus
berangkat kerja dibonceng olehnya. Entah karena ingin lebih lama denganku atau dia tipe lelaki yang berhati-hati. Dan sekali saat hari
senin, bus yang aku tumpangi berjalan sangat pelan karena takut
kehabisan bensin di tengah perjalanan.
*
Kembali lagi pada lelaki ini.
Kurasa
aku ga salah ketika menjulukinya matahariku. Sejujurnya. Aku tak pernah menyukai pagi. Aku terlalu bahagia meringkuk di bawah selimut meski lamat-lamat kudengar burung gereja bernyanyi.
Aku tak pernah menyukai pagi. Tidurku tak pernah cukup untuk menyambut matahari terbit. Kulitku tak cukup tebal untuk disentuh udara dingin sisa semalam.
Aku tak pernah menyukai pagi. Sampai tiba saat kau rajin menyapaku. Yah, karena berkatnya
aku mampu bangun pagi bahkan 2 menit sebelum alarm menyala. Karena dia
pun, aku mematikan aturan ponsel mati-nyala otomatis, karena aku ga mau
melewatkan ucapan selamat paginya. Dan aku belajar mensyukuri pagi,
karena aku tahu dia akan menemani hariku lewat susunan kalimat di
ponsel.
Hal berbeda aku rasakan ketika dia memutuskan untuk
pergi. Memang sangat egois jika aku memintanya untuk tinggal hanya demi
menyenangkan hariku saja. Sementara aku, pernahkah aku menyenangkannya?
Tidak, jawabku sendiri.
**
Aku kerap membiarkan dia menonton tv kabel sendiri ketika menemaniku di kosan, mengabaikan celotehnya mengomentari ini itu, sementara aku sibuk membaca novel kesukaanku.
Aku menolak menyiapkan sarapan untuknya dan mungkin melewatkan morning sex ketika dia menginap, karena tiba-tiba aku merasakan hal yang aneh pada payudara kiriku.
Aku tak meluluskan keinginannya untuk berkencan di salah satu mall yang
memiliki parkiran tertutup dan akhirnya kami berdua memasuki mall itu dengan kondisi kuyup.
Aku merasa
baik-baik saja saat bersamanya di hari ke 2 menstruasi dan aku tidak
menerima niat baiknya untuk membelikanku ice cream Haagen Dazs hanya karena dia
ingin membuat moodku lebih baik.
Aku berkeras tidak mau menerima perhiasan yang dia belikan hanya karena aku takut perhiasan itu secara tidak langsung akan mengikat secara komitmen.
Aku tidak jadi
memasakkan bistik daging dan rica-rica udang ala-ku ketika kami
melewatkan sabtu malam minggu dan membiarkan dia mentraktir tahu tek.
Aku tidak mengurusnya,
memeluknya, mengingatkan untuk makan yang banyak dan minum obat,
membuatkan segelas cokelat hangat, hanya untuk membuatnya tenang saat
dia sakit.
Aku tidak mengiyakan ketika dengan baik hatinya dia
menyarankan aku untuk lebih mengurus diri dan menonjolkan apa yang
menjadi kelebihanku.
Aku kabur, dan menolak bertemu dengannya di hari pertama aku di vonis kanker payudara stadium II B, padahal dia tahu, yang aku butuhkan adalah dia berada disisiku.
***
Aku
hanya memikirkan diriku sendiri. Terlalu larut dalam euphoria bahwa aku
dicintai seseorang. Terlalu takut untuk mengakui perasaaanku padanya. Terlalu banyak pemikiran bahwa dia tidak akan
menerima ku apa adanya. Sehingga terlalu sering aku menyakitinya, tanpa
kejelasan bahwa kami sebenarnya sudah saling memiliki. Cinta itu ada.
Jodoh dan
rizki adalah rahasia Tuhan. Siapa sangka dulu Ia mengenalkanku padanya,
lalu memisahkan dan kemudian mempertemukan kami lagi. Dibalik itu, aku
tahu Ia bisa memiliki maksud banyak. Bukan tentang mempersatukan
kami. Mungkin ada tujuan lain.
Sudah beberapa kali ini secara
tidak langsung aku selalu mengusir, dan membuat orang benci padaku.
Membiarkan mereka menilaiku tak berperasaan. Terlebih dia. Aku tak mau dia tahu kalau aku ... ah sudahlah.
Syukur kupanjatkan, karena aku semakin belajar Tuhanku dan merasa dicintai
melalui lelaki yang luar biasa ini. Jika suatu hari Ia masih
mengizinkan aku memperoleh kesempatan lagi, aku berjanji akan
mengabdikan diriku penuh padanya.
Namun sekarang, biarlah aku berdoa untuknya. Untuk kepergiannya. Untuk kerelaannya melepasku. Untuk kebahagiaannya juga kelak.
Terakhir,
Agar hati dan pikiranku tenang untuk melalui apa yang harus aku selesaikan tanpanya
Dia lelaki baik.
Lelaki yang baik, akan mendapatkan wanita baik.
****
"Ibu Ananthiya, sudah siap masuk ke ruang operasi?," tanya suster Ira.
"Sebentar sus," jawabku.
Aku menaruh bolpoin dan melipat kertas kemudian memasukkannya ke dalam amplop biru muda. Aku menyerahkannya pada suster Ira.
"Tolong serahkan ini pada nama yang tertera pada surat itu, jika terjadi sesuatu padaku ya Sus," Aku tersenyum.
"Baik bu,".
Suster Ira membalik amplop dan melihat nama yang tertulis di permukaannya. Waduh namanya ga lengkap, alamatnya pun tak ada. Bagaimana aku menyampaikannya, kata Suster Ira dalam hati.
Aku membaca bahasa tubuhnya, dan tersenyum. Lalu kututup mataku dengan kelopaknya. Pagi akan segera menjelang, di meja operasi.
"Kepada Bagaskara, yang berarti Matahari"