Monday, 14 March 2011

tentang pamela


tadi malem aku baru tidur jam 2 lebih. eh pagi-pagi udah dibangunin sama alarm perut. ke kamar mandi lah aku. melewati dapur, tampaklah pamela sepupuku yang sedang duduk di bangku sma, sedang membumbui ayam dengan tepung.

coba, sekarang ada berapa abg 'normal' di indonesia yang melakukan hal ini?. subuh, belanja kemudian mandi, lalu memasak sendiri bekalnya ke sekolah. yang lebih istimewa lagi, dia bikin bekalnya untuk dua orang...satunya adalah untuk pacarnya (iiih, mereka awet banget pacaran dari kelas 2 smp).

kejadian seperti itu cuma pernah aku tahu di komik-komik jepang serial cantik. kalo suka sama seseorang, si tokoh perempuan akan membawakan bekal untuk sang gebetan. kalo kenyataan? ah, aku ragu. abg sekarang manja-manja. gausa abg lah, aku aja males kalo bangun pagi :D

si pamela ini, anak ketiga dari tiga bersaudara. kalo saya bilang, dari ketiga nya yang paling cantik ya pamela. yang paling rajin juga dia. dan satu lagi, dia paling ga neko-neko, anaknya nurut, saking nurutnya sama orang rumah dimintain bantuan apa aja dia jarang nolak, sampe kadang dia sendiri jengkel kenapa ga bisa nolak hehe.

semoga berhasil menjadi calon istri yang baik ( bo, masih jauh ya...)
tetap semangat!!

tak seindah bayangan

Aku tidak pernah membayangkan hal ini sebelumnya. Yang ada di anganku adalah aku menikah muda dengan seorang laki-laki yang aku cintai, mengenakan busana pengantin yang aku desain sendiri, memilih bunga, dekorasi, tema foto pre-wedding, undangan, gedung dan sebagainya sesuai keinginanku dan calon suami.

Nyatanya, aku tidak perlu memikirkan semua itu. Calon mertuaku sudah menunjuk sebuah wedding planner untuk mengurus semuanya, termasuk soal biaya. Aku cuma menunggu beres. Biasanya dalam adat jawa, pihak perempuan lah yang seharusnya menjadi penyelenggara pernikahan, atau kedua belah pihak keluarga patungan, atau kami sendiri yang akan menikah lah yang membiayai semua. Tapi tidak untuk satu ini. Aku dan keluargaku dilarang mengeluarkan uang sepeser pun dan nantinya “isi gentong” pun akan menjadi milikku dan suami..

Semua temanku berpendapat, “Enak banget lu dapet mertua tajir kayak gitu?!”
“Tinggal ongkang-ongkang kaki doank dong…”
“Beruntung lo, Wi…keluarga calon lu baik. Ga kayak gue dulu…”
bla..bla..bla…

Bila dilihat dari satu sisi, aku memang beruntung. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah, aku akan menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Parahnya, calon suamiku juga masih mencintai wanita lain yang orangtuanya tidak restui.

Semua berawal dari lamaran non-formal Dion, kekasihku setahun yang lalu. Ayah dan Ibu tidak banyak berkomentar hingga saat Dion pulang, mereka mengatakan agak keberatan menerima Dion sebagai calon suamiku. Hanya karena Dion yang berkepala  botak dan memiliki pekerjaan yang (bagi mereka) belum mampu mengimbangi aku yang sebagai manajer promosi di sebuah perusahan periklanan terbesar di Indonesia. Padahal dengan Dion aku sudah merasa cocok, kami sudah se-misi dan visi merencanakan masa depan. Aku kecewa. Daripada hubungan diteruskan tanpa restu, kami pun berpisah.

Beberapa bulan setelahnya, aku kembali dekat dengan seseorang. Dia anak baru di kantor. Rangga-seorang fresh graduate. Sebenarnya aku agak sungkan berhubungan dengan perbedaan usia juga posisi di kantor, tapi dia tampak santai menjalani semuanya. Begitu aku menyampaikan kedekatanku dengannya, orangtuaku serta merta protes.

“Gimana toh kamu, nduk…kamu cantik, karir cemerlang, kok ga bisa cari jodoh yang…apa ya istilahnya, Pa…se-cemerlang kamu lah. Sepadan gitu. .”ujar Ibu sambil menatap Ayah yang sedang manggut-manggut tanda setuju.

Aku tidak pernah bisa memahami mereka. Ini yang mau menikah kan aku, bukan mereka. Sekeukeuh-nya aku menjelaskan, mereka tidak mau mengerti. Pokoknya calon-ku harus ganteng, kaya, dan sayang sama keluarga.

“Aku menyerah. Ayah dan Ibu saja yang memilihkan jodoh untukku…”

Tidak sampai seminggu, mereka memperkenalkan Alif, 30 tahun, anak dari seorang kolega Ayah. Aku benar-benar menyerah, terlebih adikku satu-satunya juga ingin segera menikah tetapi tidak mau melangkahi kakaknya. Kelihatannya dia juga begitu. Jika memaksa berhubungan dengan pacarnya itu, dia akan diusir dari rumah dan dicoret dari daftar ahli waris. Alif tipikal pria manja, tidak bisa hidup sederhana karena sejak kecil telah dibanjiri dengan kasih sayang dan harta keluarga.

Mungkin, tidak semua pasangan yang dijodohkan tidak akan bahagia. Seiring dengan waktu, cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya. Aku percaya itu. Aku sendiri berharap bahwa aku akan bisa mencintai Alif seperti aku pernah mencintai Dion. Tapi ternyata tidak. Alif bertemperamen keras. Ia kerap memukulku. Bahkan saat bercinta, ia memanggilku dengan nama mantan pacarnya.

Aku merintih. Ayah, Ibu…seperti inikah hidup yang kalian anggap “cemerlang”??

Pieqa ™

Saturday, 12 March 2011

kompromi?

Aku membuka mata. Tak kulihat Abi tidur di sampingku. Kulihat jam meja di samping kanan tempat tidur, pukul 01.14 pagi. Mungkin Ia ada di kamar mandi, pikirku. Dengan mata mengantuk terhuyung-huyung aku berdiri dan mengambil jubah tidurku lalu berjalan keluar kamar.

“Hmm...isi meja makan masih utuh. Kamar mandi pun kosong. Kemana Mas Abi jam segini ya..” tanyaku dalam hati setelah memeriksa kamar mandi.
Ku ambil telepon genggam lalu memencet angka 2 sebagai speed dial nomor telepon Abi.

“Halo sayang...” akhirnya Abi mengangkat teleponnya setelah nada tunggu ke tujuh. Suara di belakangnya sangat bingar. Ramai.
“Halo, aku pikir kamu sudah ada di rumah”
“Maaf, tadi aku sudah mau pulang tapi Steve tiba-tiba ngajak bilyard. Ga enak juga nolak, kami udah lama ga ketemu” Steve teman kuliah Abi saat di Sidney. Kemarin Abi sempat cerita bahwa Steve ada urusan bisnis di Indonesia dan menghubungi Abi untuk mengatur pertemuan. Tak kusangka malam-malam begini...
“Kenapa ga mengabari dulu, paling engga sms aja...”
“Aku kira kamu sudah tidur. Bukannya kamu sudah pamit mau tidur duluan”

Aku membereskan makan malam yang aku siapkan untuk Abi. Bila pulang selarut ini ia tidak akan makan lagi dirumah. Setelah itu aku mencoba untuk tidur kembali, tapi tidak bisa. Menghitung domba lompat pagar pun tak mampu membuatku mengantuk. Cuma Abi yang ada di pikiranku. Bukan aku tidak percaya atau tidak suka ia bersenang-senang sendiri, aku cuma kuatir dengan keadaannya. Abi ringkih, mudah sakit, dan tentunya besok ia harus kembali bekerja...

Dua jam kemudian, ia datang. Dengan wajah letih luar biasa tapi senang. Seperti biasa, ia mengecup keningku.
“Kenapa kamu ga tidur lagi?” Abi duduk dan melepas sepatu.
“Aku ga bisa tidur. Gimana kabar Steve?” Aku mengambil tas kerja dari pundaknya dan menaruh di atas kursi.
“Dia baik, tetap seperti dulu. Masih membujang, dan pandai merayu wanita. Masa tadi dia berusaha mengenalkan aku sama seorang score girl, dia lupa bahwa aku sudah menikah hahaha...” katanya sambil menanggalkan kemeja dan menggantinya dengan kaos putih polos.
“Lucu ya...” aku cemberut.
“Sayang, kamu kenapa? Kan aku ga ikutan godain cewek-cewek itu”
“Mana aku tahu. Kamu ngabarin aja enggak. Apalagi flirting, mana mau kamu laporin ke aku”
“Aku kan sudah bilang, ini ga aku rencanakan dan mungkin kamu sudah tertidur. Aku takut bunyi telepon atau sms ku akan  membangunkanmu. Toh aku tetap akan pulang”
“Justru kamu ga sms aku malah kebangun kan. Dan liat hasilnya, lebih fatal dibanding kalo kamu ngeluangin aja waktu semenit untuk sms”
“Aku kan sudah minta maaf...”
“Kamu sudah berkali-kali minta maaf tapi mengulanginya terus. Seluruh ucapanmu ga ada yang bisa dipercaya dari dulu...bulls**t!” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Gosh...
Stop saying like that, Tita. Kenapa dulu kau mau menikahinya jika ia cuma bisa omong kosong. Kau tahu kau mencintainya. Begitu pula ia padamu.

Aku merebahkan diri di tempat tidur memunggunginya. Aku tahu, bahwa ia tak sepenuhnya salah. Mungkin aku yang terlalu saklek dalam hal kecil ini. Apapun, dimanapun dan kapanpun aku mengharap Abi sms dan mengabari. Orang lain pasti berpendapat, aku kayak satpam aja. Kerap seperti wajib lapor dan menginterogasi pasangan sedang ada dimana atau dengan siapa, bertanya sudah makan belum dan menyuruhnya segera makan padahal ia juga bukan anak kecil. Ia orang dewasa yang tahu kapan harus makan setelah merasa lapar. Tapi selalu saja ada perasaan kuatir dan membutuhkan rasa aman.

“Maafin aku Tita, aku ga bermaksud untuk tidak menghargai keberadaanmu. Aku salah, berulang kali...tapi aku ga akan menyerah untuk memperbaiki sikapku. Met malem” ujarnya di balik punggungku.

“Maafin aku juga terlalu keras padamu, Abi. Mimpi indah” jawabku dalam hati.

Pieqa ™

sehabis baca novel...

Satu hal yang aku perhatikan semua sama pada sebuah novel. Tokohnya, dengan karakter yang kuat dan selalu tampak hebat terutama pada penampakan, latar belakang keluarga, kekayaan dan pekerjaannya. Dan biasanya penulis pun tidak jauh-jauh membuat karakter tokoh dengan dirinya sendiri. Ada Banker, dia pun menciptakan tokohnya menjadi Banker. Ada penulis, dia membuat tokohnya menjadi seorang penulis sekaligus editor. Ada pula desainer, penyiar radio, presenter dan sejumlah profesi lain menjadikan dirinya sendiri sebagai pekerjaan si tokoh utama, hanya saja…lebih di dramatisir. No offense ya. Karena materi profesi itulah yang mereka kuasai, jadi akan lebih mudah dituangkan.

Kok aku bisa menyimpulkan seperti ini?, bahwa penulis tidak jauh-jauh membawa kehidupan pribadinya atau setidaknya curhatan seorang teman yang kemudian di modifikasi ke dalam tulisannya…sok tau banget haha. Mungkin karena aku sendiri merasakan. Ditambah juga aku pernah nonton film yang judulnya My Girlfriend's Boyfriend.


Intronya seperti suatu ilustrasi atas naskah yang sang aktor buat, tapi lalu naskah itu ditolak karena tokohnya persis seperti dia. Pembaca tidak akan menyukai tokoh yang biasa-biasa saja. Membosankan. Sampai dia bertemu seorang wanita di sebuah café, lalu mereka berkencan dan selama film berjalan kita akan dibuat berpikir bahwa si wanita selingkuh. Ceritanya simple banget, tapi bravo tuh penulisnya!

Well, balik lagi. Aku sendiri sadar, ternyata punya passion menulis, mengerjakannya ga semudah aku mengatakannya. Sebuah buku harus mengandung makna dan setidaknya ada pelajaran yang bisa ditarik setelah dibaca, bukan hanya untuk menghibur, mempermainkan emosi, membuat khayalan pembaca saja. Menuangkan emosinya kudu detail. Sampe bisa bikin si pembaca bergumam, “Omigod, ternyata memang begitu…” atau “Aku juga pernah ngalamin ini…” atau “Ini buku aku bangeeeet…”

Bisakah aku melakukannya?
Menjadi penulis?
Aku tidak tahu, tapi aku akan terus belajar


Friday, 11 March 2011

ujan sore

sudah positif bahwa hari ini saya tidak bekerja sama sekali. seharian cuma mantengin lapie dan mengotak-atik blog ini. fiuuh, mata saya capek bukan main. butuh melihat yang hijau-hijau diluar sana. dan beruntungnya sore ini sedang hujan. saya suka hujan, suka bau tanah, kecuali satu...saya lupa bawa payung. gimana bisa pulang ya nanti?
ah biar saja, hujan air aja loh:)

Thursday, 10 March 2011

snack sore

kamu tahu jam berapa ini?
ini jam menjelang pulang dan se'rombong bakso kaki lima seperti biasa berhenti di depan kantor.
sangat menggoda...

Tuesday, 8 March 2011

#ngalorngidul

sejak punya lapie, hidup saya ternyata tidak berubah. HAHAHA...karena saya belum menelurkan satu pun tulisan yang layak saya jual ke penerbit.
yak, tujuan saya punya lapie karna berniat untuk semakin rajin menulis..tapi mungkin karna terlalu sibuk pacaran jadi ga sempat *biggrin*
gimana lagi, mood saya naik turun kalo mau nulis. keseringan kalo lagi bete justru mood menulis saya kenceng...apa perlu saya jadikan blog ini sebagai "tempat sampah" saya, sedangkan resiko membuat blog adalah dapat dibaca oleh siapapun. harus bagaimana saya?