Lelaki yang sebenarnya aku tahu dari tadi
sebelum aku memasuki kafe ini, yang duduk sendiri berbalut kaos bergaris putih
berdasar biru di dalam no smoking area,
baru saja menghampiri aku.
“Kamu perempuan yang ada di dalam banyak mimpiku bahkan
ketika tidurku tidak pernah sampai ke lelap”
Raut mukanya datar. Sedikit menunjukkan kegelisahan. Aku
tahu dari sorot mata bulatnya itu. Pupilnya membesar beberapa inci menatapku.
Dalam. Melunturkan lamunan akan masa lalu.
Ia membuat aku memilih untuk beranjak, membawa serta postman bag dan menenteng ponsel dalam mode off. Dorongan keyakinannya bahwa Ia
mengenalku begitu besar. Dadaku begitu sesak di dekatnya. Tidak. Aku tidak
mengenalnya.
Aku bisa melihat dari pantulan pintu kaca bening, bahwa Ia
masih berdiri ditempatnya semula sebelum aku tinggalkan. Terdengar gemericing
lonceng kecil yang di letakkan di pegangan pintu kaca itu seiring hentakanku
membuka dan menutup pintu.
“Freak!,” kataku
dalam hati.
Sebelum akhirnya aku menepuk lembut kepalaku dan teringat
bahwa aku belum membayar bill dari secangkir
kopi latte yang baru kuteguk seperempat bagian itu. Dengan langkah yang berat
aku terpaksa kembali ke kafe itu. Malu pada diriku sendiri kalau harus bertemu lagi
dengan lelaki asing itu, dan tentu saja aku kuatir di-blacklist oleh si pemilik kafe cuma gara-gara kali ini aku lupa
bayar.
Ya, aku sering sekali ke kafe itu. Suasananya begitu
familiar dan hangat, berada di ujung sebuah pertigaan dekat kawasan toko-toko
buku bekas. Waktu kecil, ayah suka sekali mengajakku kesana, membelikan aku
buku cerita rakyat jika nilai ulanganku bagus. Beliau yang menularkan hobi
membacanya padaku. Dan dari situ, Ia akan mengajakku ke kafe yang tak jauh dari
situ untuk makan es krim.
Aku anak satu-satunya. Mamah memilih pulang kembali ke rumah
orang tuanya di Banjarmasin, tak membawaku serta, karena menurutnya aku adalah
anak perempuan berusia 7 tahun yang sulit diatur, mirip bapaknya. Setidaknya
itulah yang kuingat.
Ayah membesarkan aku sendirian. Mengantar aku ke sekolah dan
menjemput kembali dengan naik kendaraan umum. Rumah dan kendaraan pribadi
dijual dan hasilnya dibagi rata dengan Mamah. Ayah menjadikan hasilnya sebagai
tabungan untukku menikah nanti. Jadi setelah tidak memiliki apa-apa, Ia bekerja
serabutan hanya untuk menyenangkanku.
Aku tidak tumbuh dengan perasaan membenci Mamah meski aku
ditinggalkan. Aku tahu sebagai anak aku memiliki hak untuk marah. Tapi Ayah
terlalu sabar dan menyabarkan aku.
Tatapan mata lelaki itu, mirip dengannya. Ayahku yang meninggal
karena stroke 3 tahun lalu.
Aku menghela nafas. Telah sampai di depan cafe tempatku
duduk bersama ayah setiap pulang membeli buku. Kafe yang sama tempat aku
bertemu lelaki itu barusan.
Suara gemericing kembali terdengar. Salah satu waiter menghampiriku. Sebelum aku
meminta maaf, Ia berkata “Sudah dibayar kakak itu,” sambil menunjuk tempat lelaki itu berada. Dan dia berlalu melayani pengunjung lain.
Sedikit kikuk, Ia melambaikan tangan padaku mengisyaratkan “That’s
okay, not a big deal.”
Aku memicingkan mata, seraya berjalan ke arahnya memasuki no smoking area.
Ternyata ada ya lelaki
yang tidak merokok?
“Maaf, aku tidak terbiasa berhutang.”
Aku menaruh tiga
lembar sepuluh ribuan diatas mejanya lalu berbalik tanpa mengucap terimakasih.
Masih mau berpikir
bahwa aku perempuan yang ada dalam mimpimu?
#FlashFictionBersambung by @benzbara_
[Episode 1] ada pada blognya bisikan busuk
orang yang sama ya sama @benzbara?
ReplyDeletemungkin...:D
ReplyDelete