Monday 30 May 2016

A Place Called Home

Malam minggu aku habiskan dengan menonton film “Supernova : The Knight, The Princess and Shooting Star” sendiri di kamar, dimana saya ga akan menceritakan resensi film tersebut disini, tapi kamu bisa baca di blog ini. Ada satu hal yang aku ingat betul mengapa dari sekian petualanganku, aku tetap kembali ke "rumah". 

Sederhananya, Ferre mencintai dan dicintai Rana yang telah bersuamikan Arwin. Arwin bukan sosok yang tepat untuk diduakan, tapi nyatanya siapa yang bisa mengelak dari cinta. Hingga akhir waktu, Arwin mengetahui hubungan gelap mereka dan memilih untuk melepaskan Rana pada Ferre. Rana luluh dengan sikap tulus Arwin dan memilih untuk memutuskan hubungannya dengan Ferre.

Yang tidak aku ungkapkan, begitu pula dia...kami sama dengan pasangan-pasangan lain yang tidak sempurna. Bahwa sebelum kami menikah, ada satu pria yang berharap bisa menikah denganku jika aku tidak segera dilamar oleh kekasih kala itu.

Si pria dewasa, cukup tampan, mapan dan sholeh, yang seharusnya ga perlu berpikir dua kali untuk meninggalkan kekasih yang penuh tidak kepastian dan memilihnya.

Di suatu malam di sebuah tempat, dengan hati besarnya, kekasih  memutuskan hubungan kami agar aku bisa bersama pria itu. Dia tidak menunjukkan emosi, dia tidak menunjukkan amarah, dia tetap mengantarku pulang  sampai di depan rumah.

Si pria tentu kegirangan, dan mulai menyiapkan serangkaian acara kencan untuk lebih mendekatkan kami berdua, tetapi aku menolak. Aku memilih untuk diam dirumah, memikirkan segalanya, berdoa untuk siapa yang baik untukku. Dan tepat seminggu setelah itu,  aku memilih untuk kembali pada kekasih ketimbang memulai hubungan baru dengan si Pria.

Andaikata, pada malam itu kekasih marah besar dan mengata-ngatai aku dengan kalimat kasar, mungkin aku akan tidak berpikir ulang untuk kembali padanya. Sikap seperti itu sukses membuatku merasa bersalah beberapa kali lipat dan berniat memperbaiki semua dari awal. Dan dia dengan hati besarnya itu, menerimaku kembali dan akhirnya melamar.


Jika saya update status di sosial media berlokasi di “A Place Called Home”, it isn’t about the house --my parent-in-law’s house...but that’s HIM. 

He’s my home.

Tuesday 17 May 2016

yang ditunggu

Hal terbaik dari menangis dibawah guyuran hujan dan diatas motor yang sedang berjalan di jalanan adalah tak seorang pun akan menyadari dan memperhatikan. Air mata sibuk bercampur dengan percikan hujan atau cipratan dari kendaraan lain. Namun hal ini lebih baik ketimbang bersembunyi di ruangan tak terpakai dan jauh dari keramaian dengan resiko kepanasan. Tetap dengan konsentrasi penuh mengendarai motor, aku seolah melihat potongan-potongan kejadian dan jalan hidup yang kupilih di masa lalu.

Aku tidak pernah merasakan indahnya proses pelamaran seperti pasangan-pasangan romantis lainnya. Aku tidak merasakan bahwa aku memang satu-satunya wanita yang ingin dinikahinya. Kami memutuskan untuk menikah hanya karena sudah waktunya. Karena desakan keluarga. Karena tuntutan usia yang menginjak kepala 3. Tidak ada kejutan, tidak ada drama ataupun sandiwara. Meski demikian, aku bersyukur pada akhirnya dia bisa menikahiku.

Hari berganti hari hingga bulan berganti bulan, sesuatu yang ditunggu setiap pasangan setelah menikah tidak nampak hilalnya. Dan manusia di sekeliling seolah ga pernah lelah bertanya, memojokkan dan menyuruh. Mungkin mereka lupa bahwa anak adalah rejeki. Mungkin anak bisa “dibeli” dengan cara inseminasi atau bayi tabung, tapi kami tahu kemampuan kami. Bisa hidup dan makan keesokan hari saja kami bahagia.

Setelah genap setahun, aku mempertanyakan kembali bahagia seperti apa yang sebenarnya aku inginkan. Bahagia karena melihat teman-teman diluar bahagia dengan kehamilan pertamanya, atau keduanya?. Bahagia karena bisa makan dan menyebabkan berat badanku naik 10 kilo karena aku malas menjaga tubuh dan rambutku yang tertutup hijab?. Bahagia karena hubungan pernikahan kami yang seumur jagung namun mengalami pasang surut dan kehilangan romantisme pasangan?

Andai aku hamil, suamiku pasti menghujaniku dengan perhatian. Keluarga pasti berhenti mempertanyakan, teman-teman mengutamakan. Setidaknya, aku ingin merasakan itu.

Lalu, apakah yang aku inginkan sebenarnya adalah hamil dan punya anak, atau hamil untuk sekedar mendapatkan perhatian?.

Kemudian aku tahu. Dari segi apapun mungkin aku belum siap. Aku tidak benar-benar menginginkan seorang anak. Perhatian suami akan terbagi dengan anak. Perhatian keluarga ga lagi untukku. Emosi dan fisikku akan terkuras untuk membesarkan anak ini, sementara sekarang hanya berdua saja aku sudah merasa kelelahan. Tetapi aku egois jika aku tidak berusaha, karena suamiku menginginkan anak. Keluarganya dan keluargaku pun demikian.

Mungkin aku mengharap terlalu tinggi. Kata orang, mumpung belum punya anak pacaran dulu aja. Tapi aku lelah karena suamiku adalah orang yang paling tidak romantis. Memesankan kue tart setiap ulang tahun ku pun adalah permintaanku sendiri. Sebaliknya, aku selalu memberi yang tidak pernah dia minta. Sehingga sewaktu-waktu aku ingin dia membalas hal yang sama seperti yang aku lakukan padanya.

Hingga suatu ketika kekesalanku memuncak, aku tidak ingin pulang. Tidak ingin melihatnya untuk sementara waktu. Tidak ingin berhadapan dengannya. Tapi aku tetap pulang, lalu menata pakaian-pakaianku kedalam tas dan berencana tidak pulang esok harinya.



Aku kalah