Tuesday 17 May 2016

yang ditunggu

Hal terbaik dari menangis dibawah guyuran hujan dan diatas motor yang sedang berjalan di jalanan adalah tak seorang pun akan menyadari dan memperhatikan. Air mata sibuk bercampur dengan percikan hujan atau cipratan dari kendaraan lain. Namun hal ini lebih baik ketimbang bersembunyi di ruangan tak terpakai dan jauh dari keramaian dengan resiko kepanasan. Tetap dengan konsentrasi penuh mengendarai motor, aku seolah melihat potongan-potongan kejadian dan jalan hidup yang kupilih di masa lalu.

Aku tidak pernah merasakan indahnya proses pelamaran seperti pasangan-pasangan romantis lainnya. Aku tidak merasakan bahwa aku memang satu-satunya wanita yang ingin dinikahinya. Kami memutuskan untuk menikah hanya karena sudah waktunya. Karena desakan keluarga. Karena tuntutan usia yang menginjak kepala 3. Tidak ada kejutan, tidak ada drama ataupun sandiwara. Meski demikian, aku bersyukur pada akhirnya dia bisa menikahiku.

Hari berganti hari hingga bulan berganti bulan, sesuatu yang ditunggu setiap pasangan setelah menikah tidak nampak hilalnya. Dan manusia di sekeliling seolah ga pernah lelah bertanya, memojokkan dan menyuruh. Mungkin mereka lupa bahwa anak adalah rejeki. Mungkin anak bisa “dibeli” dengan cara inseminasi atau bayi tabung, tapi kami tahu kemampuan kami. Bisa hidup dan makan keesokan hari saja kami bahagia.

Setelah genap setahun, aku mempertanyakan kembali bahagia seperti apa yang sebenarnya aku inginkan. Bahagia karena melihat teman-teman diluar bahagia dengan kehamilan pertamanya, atau keduanya?. Bahagia karena bisa makan dan menyebabkan berat badanku naik 10 kilo karena aku malas menjaga tubuh dan rambutku yang tertutup hijab?. Bahagia karena hubungan pernikahan kami yang seumur jagung namun mengalami pasang surut dan kehilangan romantisme pasangan?

Andai aku hamil, suamiku pasti menghujaniku dengan perhatian. Keluarga pasti berhenti mempertanyakan, teman-teman mengutamakan. Setidaknya, aku ingin merasakan itu.

Lalu, apakah yang aku inginkan sebenarnya adalah hamil dan punya anak, atau hamil untuk sekedar mendapatkan perhatian?.

Kemudian aku tahu. Dari segi apapun mungkin aku belum siap. Aku tidak benar-benar menginginkan seorang anak. Perhatian suami akan terbagi dengan anak. Perhatian keluarga ga lagi untukku. Emosi dan fisikku akan terkuras untuk membesarkan anak ini, sementara sekarang hanya berdua saja aku sudah merasa kelelahan. Tetapi aku egois jika aku tidak berusaha, karena suamiku menginginkan anak. Keluarganya dan keluargaku pun demikian.

Mungkin aku mengharap terlalu tinggi. Kata orang, mumpung belum punya anak pacaran dulu aja. Tapi aku lelah karena suamiku adalah orang yang paling tidak romantis. Memesankan kue tart setiap ulang tahun ku pun adalah permintaanku sendiri. Sebaliknya, aku selalu memberi yang tidak pernah dia minta. Sehingga sewaktu-waktu aku ingin dia membalas hal yang sama seperti yang aku lakukan padanya.

Hingga suatu ketika kekesalanku memuncak, aku tidak ingin pulang. Tidak ingin melihatnya untuk sementara waktu. Tidak ingin berhadapan dengannya. Tapi aku tetap pulang, lalu menata pakaian-pakaianku kedalam tas dan berencana tidak pulang esok harinya.



Aku kalah 

1 comment:

  1. "Kami memutuskan untuk menikah hanya karena sudah waktunya. Karena desakan keluarga. Karena tuntutan usia yang menginjak kepala 3."

    Dari kutipan di atas, saya mencium bau hesitation dan despair ketika memutuskan untuk menikah.
    Semoga saya keliru, tapi mungkin faktor yang saya kutip di atas memiliki dampak jangka panjang sampai sekarang sehingga berpengaruh psychologically.
    Selain itu, bukankah membuat anak itu aktifitas manusiawi dan hewani yang paling menyenangkan? Kenapa tidak menikmati the fun part-nya saja, ketimbang beraktifitas sambil narget.
    Maaf Sis, karena saya kadang2 membayangkan kl pasangan yg ngebet sedemikian rupa utk punya anak krn merasa sudah terlampau lama menanti itu jangan-jangan ketika mereka sedang bergaul sembari memvisualisasi wajah-wajah orang tua, mertua, saudara2, teman2, dan semua orang-orang yang merisihkan kuping dan hati dengan pertanyaan, "Gimana, udah isi?"
    We don't have sex with those people, do we?
    Where's the fun of enjoying it?
    Maaf kl mau ngasih contoh yang ekstrim, tapi kenapa tidak meniru cara bergaulnya orang mabuk aja? Konon kan cara ini sudah pernah berhasil dilakukan Anji dan Sheila. (Correct me if I'm wrong) Hehe..
    Tapi bukan berarti pula saya menyarankan alcohol-involved foreplay lho ya. Tapi if you think it's cool, ya itu urusannya pasangan. Haha..

    Ini sekadar perspektif dari another web surfer yg dah beranak dan kebetulan membaca postingan ini. Well, memang lebih mudah berpendapat jika tidak mengalami sendiri. But who knows?
    Semoga bulan puasa ini kabar gembira yg dinantikan tiba, Sis.

    ReplyDelete