Tuesday 27 August 2013

Kita Bisa

Menjalani sesuatu yang terus-terusan terkadang buatmu bosan. Ya kan?

Bukan tentang Mencintainya. Ini adalah cerita tentang penolakan keluarga dari pihak pasangan.
Aku, satu dari antara banyaknya jiwa yang pernah atau sedang mengalami, hal ini bukanlah pertama kalinya terjadi dalam hidupku. Sebenarnya aku sudah bosan ditolak. Tapi inilah aku.

Sebelum jatuh cinta, aku selalu siap menerima resiko. Aku juga siap memberi sebanyak-banyaknya cinta yang bisa aku beri. Dan aku siap jatuh kemudian bangun lagi karena disakiti. Tapi yang ini berbeda. Aku menua, aku tak lagi sama. Aku ingin mencintai dan dicintai olehnya lebih lama lagi dan selamanya. Aku ingin terbangun dipelukannya, mencium pipi dan mengucapkan selamat pagi, mencium punggung tangannya setiap hendak beraktivitas, menyiapkan kopi, snack pagi hingga makan malam, memijit dan mengusap-usap kepalanya sebelum tidur dan kemudian tertidur di pelukannya kembali.

Tidak pernah ada kata terlambat, meski begitu, aku merasa terlambat menjalani satu hal yang sebenarnya aku yakini sejak lama tapi aku takut untuk melangkah. 

Kekasihku muslim, dan aku kristiani. Aku ber-syahadat baru setelah 3 tahun lebih kami berhubungan.

Waktu itu, tanggal 28 Maret 2013, lewat seorang teman Mama aku dikenalkan oleh seorang Ustadz. Keesokan harinya, aku langsung memberanikan diri untuk berangkat menuju pondok pesantrennya di sekitar Jl Sememi menuju ke Gresik. Ditemani oleh Mama dan temannya, aku tidak mengatakan padanya bahwa aku hendak berikrar, aku jujur aku juga tidak ingin dianggap hanya "demi dia".

Kenyataannya, proses Ikrar yang cepat tanpa adanya pelatihan kini membuatku kesusahan. Surat memang sudah ditangan, namaku mungkin sudah tercatat sebagai Hamba-NYA. Tapi hanya lewat buku dan mp3 aku mendengar dan belajar. Doa-doa tertentu pun aku belum hafal. Aku belum berani mengakui pada dunia, kini aku beragama Islam, karena aku tahu aku belum sepenuhnya menjadi umat yang sempurna. 

Aku menutupi dari teman-teman, baik yang diluar maupun didalam kantor. Keluargaku sendiri sangat menghargai adanya perbedaan, jadi mereka mendukung asalkan aku benar-benar serius menjalaninya.
Beberapa hari lalu, kekasih mengajakku kerumahnya. Ya, setelah hampir 4 tahun. Sebenarnya mereka orangtuanya sudah tahu bahwa anaknya "berteman" denganku. Ternyata, sampai aku bertemu mereka lagi, aku masih diharapkan hanya berteman saja dengan anaknya.

Islam memberi sebuah "beban" kepada seorang lelaki yang menjadi suami dan ayah. Dosa istri dan anak-anaknya lah yang akan Ia tanggung. Surga pun akan Ia miliki jika istri dan anak-anaknya taat padanya. Kebetulan Bapaknya memiliki 3 anak, lelaki semua (dan aku mencintai salah satu anaknya), anak-anak lelakinya itu harus menjadi teladan bagi orang tua dan istri serta keluarganya. Sebagai seseorang yang baru belajar, aku paham. 

"Bapak ini termasuk Tokoh Masyarakat. Gini-gini Bapak punya 200 Santri disini. Apa kata orang-orang kalau tau anaknya memilih perempuan yang berbeda keyakinan"

"Aris usianya masih 25. Kakak-kakaknya menikah diusia 29. Bapak juga menikah diusia 29."

"Iya memang mualaf. Tapi nanti entah anakmu, cucumu, atau keturunanmu yang selanjutnya bisa saja kembali ke jalan itu."

"Kalau KTP belum ganti dan belum bisa sholat, ya belum Islam."

"Saya ini istilahnya sudah menunggu waktu. Sudah tua. Saya juga ga peduli anak saya menikah dengan orang yang cantik, jelek, kaya, miskin yang penting keyakinannya sama."

"Bapak ga apa-apa kalo kalian berteman. Sampai kapanpun berteman. Ga apa-apa. Jadi tolong ya dipikir yang matang-matang."

Aku sudah tahu kemana arah pembicaraan ini. Aku mualaf atau tidak, aku sudah dianggap tidak memiliki darah Islam dari sejak awal karena para leluhurku. Ingin rasanya aku ceritakan semua, tapi selama itu aku cuma bisa tersengguk-sengguk menahan airmata dan ingus tumpah membasahi seluruh wajahku.

Aku anak perempuan pertama Eko dan Etty. Eko anak pertama dari pasangan Bapak dan Ibu Samingoen Wirjoatmodjo, Etty anak pertama dari pasangan Bapak dan Ibu Benny Tedja Surya. Mungkin karena mereka berdua berinisial E, mereka memutuskan anak-anaknya berinisial F. Seiring dengan usiaku yang bertambah, aku mengetahui bahwa Oma dulunya Islam, karena kemudian menikah dengan Opa, beliau mengikuti keyakinan Opa. Saat Eko dan Etty menikah pun melalui gereja dan menjalani akad menurut Islam juga. 

Memang perbedaan tak selamanya indah. Mungkin suatu kebahagiaan ada masanya. Dan rumah tangga mereka pun berakhir tepat diusiaku yang ke 11. Dadaku masih rata, mens-pun aku belum. Aku tumbuh dengan memilih sendiri miniset yang sampai SMP pun masih kedodoran, memasang pembalut sampai berlapis-lapis karena saking takutnya menembus rok sekolah. Betapa ga enaknya jadi perempuan yang sudah harus ditinggal orangtua diusia segitu. Aku tidak memiliki kekuatan mempersatukan mereka kembali.

Sebagai anak yang merasa kurang perhatian dan tidak memiliki kemampuan membahagiakan orangtua di kala muda, aku menginginkan calon mertua yang sangat sayang dan akan aku sayangi sepenuh hati seperti orangtuaku sendiri. Tapi ternyata hidupku belum juga dimudahkan. Atau mungkin akunya saja yang mempersulit. Karena bebereapa waktu lalu aku mengetahui, ternyata Etty bukan anak pertama dari Bapak Benny, tapi dari Bapak Bambang, orangtua kandung Etty yang wafat dalam tugas sebagai Angkatan Udara. Dan Beliau Islam. Etty pun menuruti untuk berpindah agama karena Opa, tapi di masa tuanya Ia kembali pada Allah. Jadi sebenarnya aku ini ga ada darah kristiani?. Aku memang dibaptis sejak bayi, tapi darah tetaplah darah. Aku pun tidak membenci apapun yang diajarkan, malah dari situ aku kagum atas toleransi antar umat beragama. Dan jika kemudian aku kembali berjalan di jalan Allah, mungkin memang karena dari situlah aku diciptakan.

Aku merasa akan dianggap mencemarkan keturunan Bapak jika kekasihku nekat menikah denganku. Karena Bapak mengucapkan apa saja yang pada intinya tidak membolehkan kami bersama. Kata-kata itu terngiang-ngiang di kepalaku dan kapan saja mampu menumpahkan airmataku kembali.

Tapi aku ingat dia, kekasihku. Tak hentinya dia membelaku dihadapan orangtuanya sampai aku harus menepuk pelan pahanya untuk membiarkan Bapak menyelesaikan kata-katanya. Dan kemarin, untuk kesekian kali aku membuatnya menangis, aku tahu kali ini tangisannya yang paling memilukan buatku. Bukan hanya karena aku melihatnya langsung, dan bukan karena aku telah mengkhianati dan menyakitinya. Aku adalah perempuan pertama dalam hidupnya yang berbeda semua-muanya yang bisa membuat dia berkata, "Jangan tinggalin aku, hunz. Kita pasti bisa jalani ini. Aku sayang kamu..." 

Kami berpelukan dan menangis bersama. Dia lelaki tegar dan sabarnya luar biasa terhadap aku. Dan kali ini dia tidak bisa menyembunyikan emosinya. Suasana mendadak sendu dan menyayat hati. Yang terdengar cuma isakan kami dan sebutan "YA ALLAH" yang berkali-kali terucap dari mulutnya. Dalam tangis aku berdoa, "Ya Allah, ampuni aku karena telah meminta ini padaMU. Jangan biarkan siapapun memisahkan kami kecuali oleh Engkau ya Allah."

Segala tamparan dan cobaan tak lain dan tak bukan adalah untuk menguatkan kami. Ini belum seberapa dengan apa yang mungkin akan kami hadapi di hari lain. 

"Kamu yakin sanggup jalani rumah tangga sama anak saya nantinya," tanya Ibu.
"InsyaAllah Sanggup Bu." jawab saya percaya diri.


officehour with tears 27/8/13

Monday 12 August 2013

sesat #9 - sudah biasa

Ketika menciumimu, aku terbayang wajah istrimu berbalut hijab merah muda. Ketika hendak melepas pakaianku, wajah putri kecilmu yang hadir. Ketika menaikimu, suara mama terngiang, "Kok bisa ya ada perempuan seperti itu," ujarnya saat menonton infotainment tentang seorang selebriti yang menikah lagi dengan sahabat mantan istrinya.

Aku terkesiap. Aku tak bisa melakukan ini, kataku dalam hati. Aku mulai mengambili pakaian dan sepatu yang berserakan lalu masuk ke toilet.

"Hei, ada apa?."
Dia yang nyaris telanjang menghampiri dan menggedor pintu kamar mandi.

Aku cepat-cepat memakai kembali pakaianku, mencuci mukaku yang tanpa make up, dan memasang kembali sepatu berhak 5 cm milikku. Tak menjawab pertanyaannya.

Tunggu saja sampai aku keluar.

Dia tak lagi menggedor. Aku keluar.

Dia memakai kembali kaosnya. Membuka kaca jendela sedikit. Menyalakan sepuntung rokok Black Mild.

Aku cuma berdiri menatapnya.

"Aku mau pulang. Seharusnya ini ga terjadi, aku minta maaf..."

Dia menyeruput rokoknya dalam-dalam. Diam.

"Aku akan check out. Karena kamu minta pakai kartu identitasku, brarti kamu juga harus check out."

"Segini aja?. Kita bahkan belum ngapa-ngapain," katanya sambil menjentikkan abu rokok diatas asbak.

"Segini aja. Dan ga akan terulang."

"Oh. Oke kamu nyantai aja. Sini..." tangannya terjulur mengambang di udara.

"Mungkin suatu kesalahan aku stalking media sosialmu tadi. Tapi sungguh, aku kasian sama istri dan anakmu"

"Mereka bukan tanggung jawabmu. Aku yang akan menanggung dosaku sendiri. Come on...kita sudah terlanjur disini lo."

"Kurasa ciuman tadi sudah cukup."

"Aku tahu, dompetmu ga hilang. Kartu identitasmu ada, hanya saja kamu malu mengakui bahwa kamu memang tak ingin pihak hotel mencatat namamu. Jadi kamu mengarang cerita itu. Sungguh kamu bilang jujur pun aku sudah mengerti keadaannya."

....................................




Di sebuah kantor...

Cerita seperti ini sudah biasa. Selingkuh, tapi ga dilanjutin. Ah...harusnya aku mengarang lebih baik lagi dari ini.

-F-

Friday 3 May 2013

Perempuan Dalam Mimpi [Episode 2]


Lelaki yang sebenarnya aku tahu dari tadi sebelum aku memasuki kafe ini, yang duduk sendiri berbalut kaos bergaris putih berdasar biru di dalam no smoking area, baru saja menghampiri aku.

“Kamu perempuan yang ada di dalam banyak mimpiku bahkan ketika tidurku tidak pernah sampai ke lelap”

Raut mukanya datar. Sedikit menunjukkan kegelisahan. Aku tahu dari sorot mata bulatnya itu. Pupilnya membesar beberapa inci menatapku. Dalam. Melunturkan lamunan akan masa lalu.

Ia membuat aku memilih untuk beranjak, membawa serta postman bag dan menenteng ponsel dalam mode off. Dorongan keyakinannya bahwa Ia mengenalku begitu besar. Dadaku begitu sesak di dekatnya. Tidak. Aku tidak mengenalnya.

Aku bisa melihat dari pantulan pintu kaca bening, bahwa Ia masih berdiri ditempatnya semula sebelum aku tinggalkan. Terdengar gemericing lonceng kecil yang di letakkan di pegangan pintu kaca itu seiring hentakanku membuka dan menutup pintu.  

Freak!,” kataku dalam hati.

Sebelum akhirnya aku menepuk lembut kepalaku dan teringat bahwa aku belum membayar bill dari secangkir kopi latte yang baru kuteguk seperempat bagian itu. Dengan langkah yang berat aku terpaksa kembali ke kafe itu. Malu pada diriku sendiri kalau harus bertemu lagi dengan lelaki asing itu, dan tentu saja aku kuatir di-blacklist oleh si pemilik kafe cuma gara-gara kali ini aku lupa bayar.

Ya, aku sering sekali ke kafe itu. Suasananya begitu familiar dan hangat, berada di ujung sebuah pertigaan dekat kawasan toko-toko buku bekas. Waktu kecil, ayah suka sekali mengajakku kesana, membelikan aku buku cerita rakyat jika nilai ulanganku bagus. Beliau yang menularkan hobi membacanya padaku. Dan dari situ, Ia akan mengajakku ke kafe yang tak jauh dari situ untuk makan es krim.

Aku anak satu-satunya. Mamah memilih pulang kembali ke rumah orang tuanya di Banjarmasin, tak membawaku serta, karena menurutnya aku adalah anak perempuan berusia 7 tahun yang sulit diatur, mirip bapaknya. Setidaknya itulah yang kuingat.

Ayah membesarkan aku sendirian. Mengantar aku ke sekolah dan menjemput kembali dengan naik kendaraan umum. Rumah dan kendaraan pribadi dijual dan hasilnya dibagi rata dengan Mamah. Ayah menjadikan hasilnya sebagai tabungan untukku menikah nanti. Jadi setelah tidak memiliki apa-apa, Ia bekerja serabutan hanya untuk menyenangkanku.

Aku tidak tumbuh dengan perasaan membenci Mamah meski aku ditinggalkan. Aku tahu sebagai anak aku memiliki hak untuk marah. Tapi Ayah terlalu sabar dan menyabarkan aku.

Tatapan mata lelaki itu, mirip dengannya. Ayahku yang meninggal karena stroke 3 tahun lalu.

Aku menghela nafas. Telah sampai di depan cafe tempatku duduk bersama ayah setiap pulang membeli buku. Kafe yang sama tempat aku bertemu lelaki itu barusan.

Suara gemericing kembali terdengar. Salah satu waiter menghampiriku. Sebelum aku meminta maaf, Ia berkata “Sudah dibayar kakak itu,” sambil menunjuk tempat lelaki itu berada. Dan dia berlalu melayani pengunjung lain.

Sedikit kikuk, Ia melambaikan tangan padaku mengisyaratkan “That’s okay, not a big deal.”

Aku memicingkan mata, seraya berjalan ke arahnya memasuki no smoking area.

Ternyata ada ya lelaki yang tidak merokok?

“Maaf, aku tidak terbiasa berhutang.” 

Aku menaruh tiga lembar sepuluh ribuan diatas mejanya lalu berbalik tanpa mengucap terimakasih.

Masih mau berpikir bahwa aku perempuan yang ada dalam mimpimu?



#FlashFictionBersambung by @benzbara_
[Episode 1] ada pada blognya bisikan busuk

Tuesday 30 April 2013

satu dari dua pilihan

“If you love two people, pick the second person. Because if you love the first person truly you wouldn’t have fallen for the second”

I disagree.

Jangan memilih orang yang kedua. Karena akan selalu ada orang kedua lagi dalam hidup kita. Bila kita terus mencari yang terbaik, tidak akan ada habisnya. Diatas langit ada langit.

Ingat dan pikirkan, apa yang buatmu jatuh cinta padanya.

Apa yang membuatmu bangga dicintainya.

Siapa yang selalu ada di susahmu.

Jangan berhenti mencintai orang pertama.

Aku berhenti di kamu, orang keduaku.

Sekali dalam seumur hidupku, aku memilih untuk mencintai dia orang kedua.

Tapi Tuhan tak berhenti padamu. Dia mengirim ujian, satu persatu, datang dan pergi.

Tuhan mencoba menggoyahkan aku. Menggoyahkan dia.

Berkali kali kami lolos, berkali kali kami jatuh.

Satu yang aku sadari kenapa aku tidak menyesali memilih bersamanya.

Hanya dia yang sangat yakin bisa membawaku kembali mencintainya. Ketika orang lain memilih pasrah dan pergi, dia gigih.

Aku mencinta sekaligus membenci dia berkali kali sejak pandangan pertama kali.

Dan semoga seterusnya

Itu cuma proses

“Never leave the person you Love for the person you Like; because the person you Like will leave you for the person they Love”

Wednesday 24 April 2013

kepada kamu


Teruntuk kamu yang mengetuk mata hati di pertemuan pertama kalinya,

Hai. Apa kabar?
Bagaimana tidurmu semalam? Mimpikah kau tentang aku?
Setelah malam sebelumnya kau mengeluh karena mengantuk, sementara aku yang masih berjaga ini entah mau berbuat apa.
Lalu dengan semena-menanya aku membicarakan sesuatu yang membuat matamu menjadi terbuka seutuhnya.
Kamu marah. Merasa terganggu karena tidak diijinkan tidur olehku.
Padahal kau tahu?
Aku hanya enggan menutup mataku cuma agar bisa menikmati setiap detik bersamamu.
Aku tak ingin membiarkan waktu merampas kedekatan kita berdua.
Aku tak mau membuang pandangan darimu dan tergantikan oleh lelapnya malam berganti pagi.
Kamu, yang mampu  mengetuk mata hatiku di pertemuan pertama kita.

Kepada kamu pemuas rinduku,

Sampai dimana kita?
Seribu hari lebih lamanya, tak terhitung sudah pertemuan yang kita biasa lakukan.
Kamu bilang selalu merindukanku. Aku juga begitu.
Walau bertemu lalu cuma bertukar udara tanpa kata, aku puas.
Bagaimana menurutmu?
Mungkin tidak sama sepertiku.
Karena kamu jadi lupa rasanya rindu. Kamu lupa rasanya merindukan aku.
Tidak ingat bahwa rindu berarti kata manis, pelukan dan kecupan.

Teruntuk kamu teman bicara dan pendengarku satu satunya,

Ada pepatah menyatakan “ Jika dirimu memiliki masalah dengan pasanganmu, janganlah pernah membicarakan hal itu dengan lawan jenismu”
Tapi entah kenapa, percakapan serius kita tak jarang berakhir dengan luka .
Saling membenarkan diri dan menyalahkan yang lain.
Saling mengakui sebagai pihak yang mengalah.
Saling mengucap maaf yang tanpa kesungguhan.
Kamu sungguh lelah ya mendengarku?
Kamu sudah capai berbicara denganku?
Andai kamu menyadari, bila hanya padamu aku boleh meracau.
Karena kamu pasti terluka jika aku mengumbar.
Kembali lagi padamu sayang,  heningku tercipta.

Kepada kamu cinta yang kuingin untuk terakhir kalinya,

Kamu selalu menertawakan khayalan perhelatan besar kita nanti.
Makanan khas, jajanan tradisional, lampu-lampu bulat berwarna, kereta kelinci, balon-balon gas, pengamen jalanan,  souvenir celengan.
Aku menyanyi, kamu yang main gitar.
Aku ingin beda. Kamu ingin sewajarnya.
Tak peduli betapa dalamnya paru-paru ini menghela nafas,
Kamu tidak boleh melepas aku.


send?
tidak...
delete all :)


Saturday 23 March 2013

let go

katamu Rindu,
tapi kamu barusan berteriak "kamu dungu!"

katamu aku wanita yang hebat,
tapi ternyata aku cuma kau anggap tukang debat

katamu aku pendengar yang baik,
tapi kali ini kau membuatku mendengar kata Taik

katamu aku pintar,
Tapi jangan sampai kau dan aku sejajar

katamu Cinta,
tapi tak satu pun kata maaf tercipta

kataku kamulah satu-satunya,
tapi kau tak lagi percaya

kataku dia cuma pelampiasan,
tapi kau memilih menjauh mencari ketenangan.

kataku tetaplah disini,

katamu...
"tak sekali dua kali kamu begini
jadi biarkan aku pergi
kutunggu kamu sampai sadar diri"