Wednesday 28 March 2012

sesat #5 - Beauty Case

Aku mengoleskan foundation 1 nomor dibawah warna kulit Bunda yang kuning langsat. Bundaku, berusia 55 tahun tanggal 5 April esok. Saat ini, Ia memintaku untuk mendandani wajahnya yang ayu, yang pastinya menurun padaku (Ehem, sekali-sekali memuji diri sendiri itu perlu, hehe), karena ia akan menghadiri rapat sebuah Partai yang sedang berkembang di Indonesia. Bunda memang begitu. Lebih suka beraktivitas di luar  daripada harus berada di dalam rumah dalam waktu yang lama. Bisa-bisa, 2 hari sekali Bunda mengganti posisi furniture dalam rumah saking bosannya berdiam diri. 

Aku meratakan bedak powder pada dahi, pipi, hidung dan dagu Bunda. Bunda masih melakukan perawatan wajah agar kulitnya terlihat cerah, aku mengaku kalah. Aku tak terlalu suka dengan segala bentuk perawatan. Kontras sekali dengan profesiku sebagai MakeUp Artist yang selalu berhubungan dengan berbagai macam merek rias wajah dan produk penata rambut. Aku cukup menjaga diriku dengan banyak minum air putih, makan buah bengkuang, dan mandi 3 kali sehari. Bunda menoleh ke cermin, memagut dirinya sebentar lalu menoleh padaku dan berpesan, "Jangan terlalu menyolok lho make up-nya."

Aku memulaskan eyeshadow mahoni, tembaga dan coklat pada kelopak mata Bunda yang sayu, juga menegaskan garis alisnya dengan pensil alis warna coklat. Bola matanya kecoklat-coklatan seiring dengan bertambahnya usia. Kerutan tampak pada sekitar mata. Kerutan kelelahan. Salahku juga, aku jarang sekali mengunjungi Bunda sejak aku menikah dua tahun lalu. Tapi Bunda tak pernah mengeluh. Meski aku tahu hatinya berkata lain.

Terakhir, aku membubuhkan blush-on warna peach pada pipi yang mulai menirus dan lipstik sewarna dengan bibir Bunda. Aku menoleh kearah ruang kerja disamping kamar Bunda. Disana ada Papa, seorang pria 5 tahun lebih muda dibanding Bunda dan merupakan suami Bunda setelah meninggalnya Ayah 13 tahun lalu, yang tanpa cacat mencintai Bunda dan membantu membesarkan aku, Nada, anak semata wayang Bunda, sedang menekuri layar monitor komputer di depannya. Bermain catur online.

Aku menyisir rambut Bunda yang baru kemarin dipotong pendek sebahu karena menurutnya sudah keterlaluan rontoknya. Bagian tengah mulai memutih kembali, biasanya kalau sudah begitu Bunda ribut  minta disemirkan. Waktu aku mengusulkan untuk membiarkan rambutnya memutih seperti Tante Reggy Lawalata, Ia menolak mentah-mentah. Bunda selalu ingin kelihatan berjiwa muda. 

Selesainya aku menyisir dan menata rambut Bunda, ia beranjak menuju tempat dimana Papa berada, mengecup pipi, dan berkata akan menyiapkan makan siang untuk Papa. Ini yang aku kagumi dari Bunda dan berharap bisa mencontohnya. Meski pernah tersakiti, Bunda masih setia melayani Papa yang dari setahun lalu terkena stroke permanen. Kaki dan tangan kirinya masih lumpuh sehingga untuk berjalan juga bergantung pada sebuah tongkat policare aluminium, membuatnya tak bisa bekerja kembali dan menghidupi keluarganya. Bunda mengambil alih tugasnya menjadi kepala keluarga. Sebagai putri satu-satunya, aku pun tak pernah absen membantu orang tuaku. 

Papa, ternyata pernah mengkhianati Bunda. Suatu hal yang baru aku ketahui setelah papa tiba-tiba jatuh sakit. Hampir setahun Bunda menyimpan perasaan pedih untuk dirinya sendiri, terutama setelah aku menikah, mungkin ia tak ingin menyusahkan aku yang sedang bahagia-bahagianya mengawali rumah tangga. Perempuan muda dan cantik itu, warga negara Indonesia yang bekerja sebagai Editor Tabloid Mawar, sebuah tabloid informasi bagi pekerja wanita Indonesia di Hongkong. Mereka berkenalan di situs pertemanan yang hingga saat ini masih eksis. Hubungan mereka semakin intens ketika ia menawari Papa bekerja sebagai Creative Designer tabloid tersebut. Pekerjaan yang membuatnya sebulan sekali terbang ke Hongkong meski dapat dikerjakan di balik komputer ruang kerja Papa. 

Bunda menyimpan dalam ingatannya. SMS dan e-mail mesra dari perempuan itu untuk suaminya. Begitu pula jawaban Papa yang tak kalah mesranya untuk perempuan itu. Bunda membuang jauh bayangan buruknya tentang hubungan mereka. Apa saja yang kira-kira mereka lakukan bila suaminya sedang berada di Hongkong. Kamu percaya karma?, I do. Beberapa bulan Bunda menahan, tak ada pertengkaran atau pun perselisihan sebelumnya, tiba-tiba Papa terkena stroke. Mungkinkah itu karma?.

Berada di Rumah Sakit selama 2 bulan tak menggetarkan kesetiaan Bunda. Tangisan Bunda barulah pecah ketika perempuan itu semakin menunjukkan keberadaannya pada seluruh keluarga besar kami. Sampai suatu ketika Bunda berteriak, "Kalau Mas tetap ingin berhubungan dengan dia, silahkan. Aku yang akan pergi." 

Papa, dengan ketidakberdayaannya, memilih kembali pada Bunda. Pada keluarganya. Luka itu tak pernah disebut lagi oleh Bunda. Tapi luka itu tak pernah hilang. Wajah Bunda yang kudandani tak lagi berseri-seri seperti dulu. Senyum ayu nya pun tak mampu menutupi pedih itu. Cinta mereka mungkin tak lagi sama, namun satu yang tetap dipegangnya, Komitmen akan mencintai dalam suka maupun duka. Dan tahukah kamu, Bunda kehilangan kecantikannya bukan karena usia....


Nada janji Bun, Nada akan mengembalikan senyum Bunda lagi. Nada lagi hamil 2 bulan Bun. Cucu yang Bunda nantikan 2 tahun ini. Nada ga sabar menyampaikan kabar ini sama Bunda nanti di mobil.

"Ngapain kamu senyum-senyum sendiri disitu? Ayo antar Bunda ke kantor DPD Partai P," ujar Bunda membuyarkan lamunan.

Mataku mengerjap. Beranjak dan mengangkat Beauty Case lalu mencium punggung tangan Papa menandakan pamit.

"There is no cosmetic for beauty like happiness"


officehour- 15pm

1 comment: