Tuesday 15 November 2011

sesat #2 - hujan

Hari Selasa. Aku dikejar deadline membuat Action Plan atau Rencana Kerja setahun ke depan oleh bagian Human Resource Department. Sampai jam enam, laporan ini belum juga selesai. Kutengok jendela ruanganku, gerimis. $h*t, aku lupa bawa jas hujan.

"Kerjaanku lum kelar say, diluar juga mulai gerimis," kataku pada seseorang diseberang melalui telepon selular.
"Ah iya sayang, disini uda deres malah. Tadi aku nemuin jas ujanmu terjemur. Ya udah, mending kamu slesein dulu, sembari nunggu ujan reda."

Restumu yang membuatku tetap disini, Laras, istriku yang cantik dengan rambut ikal hitam, alis mata lebat, dan mata kecoklatan. Aku menyalakan winamp dan kembali menekuri laporan di notebook yang berada dihadapanku. Menganalisa kembali Standart Operational Procedure jabatanku.

...
but i can see the skies are changing, in all the shades of blue,
and I don't know which way it's gonna go
...

Lebih baik menyelesaikan tugas disini daripada pulang kerumah dengan setumpuk pekerjaan, pikirku. Tiba-tiba terdengar pintu terbuka dan kepala terjulur menengok ke dalam.

"Mas, laper?," bersamaan dengan itu, tercium aroma khas mie instan dari mangkuk yang dibawa Adia, junior di divisi berbeda denganku.
"Kok kamu belum pulang?," sambil mengambil mangkuk mie dari tangannya, "By the way, makasih ya buat mie nya," lanjutku. Udara dingin memang selalu sukses membuatku terserang penyakit lapar.
"Lagi males pulang, diluar juga ujan. Trus saya ke pantry buat bikin mie, ngliat motor Mas Vio masi terparkir di luar, jadi sekalian aja saya bikin dua." 

Adia, perempuan mungil berusia 22 tahun dengan tinggi dan berat sekitar 158 cm - 45 kg, rambut kemerahan sebahu, matanya bulat, dagunya membelah, berkulit putih. Kenapa dia tidak jadi foto model saja. Hari ini dia mengenakan kemeja putih, vest dan rok abu-abu, plus scarf animal print menghiasi kerahnya.

Dia duduk di atas meja. Berceloteh riang menceritakan kegiatannya tadi siang saat jam makan siang. Shopping di Mall sebelah. Lalu mengangkat salah satu kakinya dan memamerkan gelang kaki yang terpasang disitu. Ahai, tungkai kaki itu. Menyadari aku menatap terlalu dalam, dia menurunkan kakinya lalu membetulkan roknya dan turun dari atas meja. Adia, Adia...kau membuatku selingkuh mata.

Belum selesai sampai disitu, dia mengambil tempat di sebelahku lalu kembali bercerita tentang kucingnya, ibu kosnya (secara dia berasal dari Lampung dan tinggal di Jogja sini sudah semenjak dia masuk kuliah di Universitas Atmajaya), teman-teman dugemnya dan masih banyak lagi. Sesekali dia bertanya kabar istriku, dan kenapa sudah 2,5 tahun kami menikah belum juga dikaruniai anak. Aku hanya tersenyum dan menjawab, "Tuhan masih mau aku dan Laras kayak pacaran terus." 

...
thought that time was on our side
i've put in far too many years to let this pass us by
...

Secara tiba-tiba matanya tampak mendung. 
"Kalo saya dulu MBA mas, jujur aja. Tapi begitu kami menikah, suami minggat, saya keguguran. Daripada kesepian, saya pelihara Tasya, kucing persia yang tadi saya ceritain. Jadi gini-gini saya berstatus janda lho," dia terkekek. Masih dengan mata mendungnya. 

...
feeling like you got no place to run, I can be a shelter 'til it's done
we can make this last forever, so please don't stop the rain
...

Adia, setidaknya untuk saat ini aku ingin menemanimu. Iya, aku dan Laras yang sudah berusaha sedemikian rupa agar kami punya anak tapi belum kunjung diberi tetap bisa merasakan hidup bahagia. Sedangkan kamu, sudah diberi kemudahan tapi hatimu terluka. Begitulah hidup. Aku memeluknya. Dia menyambut pelukanku.

...
Oh we're a little closer now, And finally what life's all about
Yeah I know you just can't stand it, When things don't go your way
But we've got no control over what happens anyway
...

Laras tampak dalam bayanganku. Tawanya. Sedihnya. Aku melepas pelukan dan meninggalkan Adia di ruanganku. Ke toilet. Cuci Muka. 






No comments:

Post a Comment