Tuesday 8 May 2012

berlalu bukan berarti menyerah

Kami sedang berada di sebuah coffee shop, hari Senin, di jam kerja tepatnya 14.07. Bekerja di gedung yang sama, perusahaan yang berbeda, tapi kami kompak cabut sejenak dari rutinitas. Ini bukan suatu yang biasa kami lakukan, tapi salah satu dari kami, Lana, yang akan segera menikah dan meninggalkan pekerjaannya untuk menjadi ibu rumah tangga, adalah penggagas pertemuan kali ini. Oh iya, beberapa dari kami kurang nyaman dengan hal itu, menjadi ibu rumah tangga maksudnya. Semula kamu sekolah dan kuliah hingga mengambil magister di salah satu universitas negeri, mendapatkan pekerjaan tetap dan jabatan tinggi yang diimpikan setiap wanita pada usia yang masih 24an, mendapat gaji dan segala fasilitasnya, yah seperti apartment dan mobil, lalu bertemu seorang pria tampan, mapan secara finansial dan kamu memutuskan untuk menjadi istri yang baik, tinggal di rumah, memasak, beres-beres, membesarkan anak…



“Well, itu cita-cita aku, gals…terima sajalah”, Lana menyeruput secangkir mochacinno lalu mengambil tisu untuk mengusap sudut bibirnya.

“Dengan segala pencapaian yang kau dapatkan…I guess not. Sayang banget tau. Ga semua wanita bisa dapetin apa yang kamu raih hingga saat ini dan ah…aku ga pernah ngerti kamu…”, Fannie berkomentar. Dia pekerja keras. Selain hangout dadakan kami seperti ini, dia hampir tak punya waktu untuk kumpul-kumpul dengan yang lain.

“Dan hal itu diucapkan oleh seseorang yang hampir tidak pernah berkencan…”, Shana menyeletuk.

Perkataannya memang kadang agak pedas. Tidak hatinya. Dia baik banget orangnya.


“Shut up…aku pernah. Cuma ga menganggap hal itu penting sekarang. Mumpung masih muda, ga da salahnya making money”, katanya membela diri.

“Yah sampe kapan , jeng?. Pengen ditinggal merit kita satu-persatu ya?” Shana mencibir. Di antara kami berempat, Shana memang yang paling cantik, modis, dan anggun. Jadi meski sekarang belum punya pacar, ga akan susah untuknya menemukan ‘soulmate’ segera. 

“Gals, please…ini berhubungan dengan pilihan hidup seseorang dan Lana berhak untuk menentukan arahnya sendiri. Tidak ada salahnya menjadi Ibu rumah tangga. Look at me, aku dibesarkan oleh seorang ibu rumah tangga dan aku bisa menjadi seperti sekarang semua berkat beliau. Itu pekerjaan mulia”, aku mencoba mencairkan suasana.

“Thanks Carla, akhirnya ada yang bela aku”, Lana berusaha memelukku.

“Ga mungkin, dia iri banget dengan apa yang kamu peroleh sekarang…”, lagi-lagi Shana.

“Bukan iri tau. Aku cuma bangga punya temen seperti dia, who’s not?. Gorgeous, great job, has a handsome fiance…”

“Wait, are u had a crush on Randy?, Lana melepas pelukannya dari tubuhku.

“Haha…kamu terlalu berlebihan. Mana mungkin aku suka atau lebih parah, jatuh cinta pada tunangan sahabat baikku?. No way…”


“Yeah, Carla wouldn’t do that”, sahut Fannie. 


“Aku percaya itu. Dan sepertinya aku pernah berada di situasi seperti ini, benar kan Carla…back when we were in high school…”, Shana membuatku flashback.



Aku dekat dengan salah satu teman lelaki, Jo. Semula aku hanya menganggap dia teman main. Dia baik, mengantarku pulang ke rumah setelah jam sekolah berakhir, meminjamiku vcd, bahkan mendatangiku di beberapa malam minggu. Karena kebersamaan itu, aku kira dia naksir aku. Dan aku yang belum pernah berpacaran sebelumnya, merasa inilah saatnya aku membuka hatiku untuk seorang lelaki. Yah, aku jatuh cinta padanya. Sampai suatu saat dia mengaku telah jadian dengan sahabatku, Shana. Aku ga bisa berkata-kata, yang keluar cuma, “Selamat…”.


Ternyata selama ini aku tidak sadar bahwa Jo kadang menyelipkan pertanyaan tentang Shana di setiap percakapan yang kami lakukan, dan tentu saja aku menjawabnya. 


Aku merasa sakit setiap melihat mereka bahagia, tapi entah kenapa aku selalu tersenyum. Shana sahabatku, Jo teman baikku. Aku ga akan menghancurkan kebahagiaan mereka. Aku berlalu. Hingga suatu hari, Shana mengetahui perihal perasaanku terhadap pacarnya dari puisi yang aku tulis dan tempel di dinding kamarku dan dia marah besar kenapa aku ga jujur.



“I moved on. Aku tahu pernah punya perasaan terhadapnya tapi aku tahu dia bahagia denganmu. Apa yang harus aku tunggu, apalagi akui?. Sekarang aku benar-benar bisa handle those feeling dan aku ga lagi punya perasaan apa-apa sama dia”.


Dia percaya padaku dan kami berbaikan. Intinya adalah, cinta memang tidak bisa kamu perkirakan darimana datangnya, kapan, dengan siapa tapi percayalah kamu sendiri yang memegang kendali atas perasaanmu. Kalau kamu mau jatuh, kau akan terus jatuh. Tapi kalau kamu mau terus bergerak dan bersikap realistis, meski kamu tiap hari bicara dan dekat dengan orang yang pernah kamu sukai tapi telah memiliki orang lain, perasaan itu akan berubah wujud dengan sendirinya. Dan prinsip aku, aku tidak akan pernah jatuh cinta dengan pria yang sama yang dicintai sahabatku atau orang terdekatku yang lain. Sesusah apapun, pasti ada seorang yang lebih “untukku” suatu saat nanti. Lalu entah apa masalahnya, Shana memutuskan Jo setelah kami lulus SMA.

Dan, kliatannya ini waktu yang tepat untuk mengatakan pada mereka bahwa…

“Lagian, kalau aku punya perasaan sama Randy, buat apa aku nerima lamaran dari Capung sabtu malam kemarin…”, kataku tersenyum sambil menunjukkan sebuah benda berkilau di jari manis tangan kiriku.

“OMG…that’s so cute. Now we have two bride-to-be in front of us”, mata Fannie berkaca-kaca, meraih tangan kananku dan menggenggamnya.

“Wow, kita bakal barengan meritnya…Aaaahh, can’t hardly wait. Sorry sweetie, aku udah nuduh yang engga-engga”, Lana memelukku erat.

“Yah lagian kamu kan tau Carla punya Capung. I’m happy for you too, honey”, Shana mengecup pipi kanan dan kiriku.

“Tinggal kita berdua ni Shan…”, kata Fannie. Ia melirik nakal kearah Shana.

“You’ll be the last baby…hahah”.

“Oh Shana, just go to hell…hahahha”.



Aku tersenyum. Dalam hati aku berkata, aku bersyukur telah mampu berdamai dengan patah hati-patah hati yang pernah aku alami. Menangis 7 hari 7 malam, tidak makan, atau tidak keluar rumah, atau bahkan sebaliknya, kau bersenang-senang di tempat hiburan malam, mabuk-mabukkan, doing drugs or sex, hal-hal yang kamu ingin lakukan untuk melepas stress, ga ada yang ngelarang. Tapi setelah itu berhentilah sebelum semua menjadi berlebihan, carilah penciptaMu dan berlalu-lah meninggalkan hari kemarin dengan lapang dada. Karena kamu ga pernah tahu apa yang menanti di hadapanmu.




by Claudia Friesca Wirjoatmodjo on Thursday, October 29, 2009 at 10:04am 

No comments:

Post a Comment