Monday 7 May 2012

hanya bintang


Kami melihat bintang yang sama. Di tempat yang sama. Di waktu yang sama. Sayangnya, bulan sama sekali tidak menampakkan wujudnya. Atau, tertutup pepohonan. Aku kurang yakin ia benar-benar tidak ada karena malam ini cerah. Yah, bukan masalah besar. Bintang-bintang saja sudah cukup. 

“Aku ingin sekali mengantarmu pulang. Sungguh. Tapi aku ga mau nanti kamu kena marah karena ini sudah larut sekali”, katanya.

“Aku akan baik-baik aja. Tinggal telepon tante, dia pasti mau bukain”, Aku meyakinkannya. Sejujurnya aku lelah sekali. Ingin pulang dan tidur. Kemarin malam agak kurang baik bagiku, sehingga aku menghabiskan waktu yang seharusnya untuk tidur dengan menonton dvd.

“Kamu pasti dimarahin. Lagian ga enak diliat tetangga kalo aku memulangkanmu malam-malam”. Bahkan dalam gelap aku bisa melihat mata coklatnya, mata yang aku kagumi. Walau entah aku tidak dapat membaca dirinya dari mata itu. 

“Haha, kamu ngomong gitu kayak baru sekali ini aja ngajak pergi mpe malem”


“Ah, aku tahu…kamu masih kangen sama aku”, candaku.

Dia menyalakan rokok, lalu tersenyum padaku dan berkata, “GR…haha”.



Kami saling bicara. Bercerita menurut versi masing-masing saat kami pertama bertemu. Aku lupa kapan tepatnya, tapi suatu hari aku menerima ajakan teman untuk datang ke sebuah kafe dimana bandnya main karena aku sangat penasaran dengan aksinya bermain drum. Ternyata malah bukan dia yang jadi perhatianku. Melainkan seorang yang lain. 

Message to: #Dinu d drummer#
Basist mu dah ada yang punya?=p
Sent

Silly, ayte?..hehe. aku tampak seperti groupie.

Seminggu kemudian, aku mendatangi tempat mereka main lagi. Di sebuah restoran makanan cepat saji, aku mengambil tempat ga jauh dari stage. Dan temanku Dinu yang baik hati mengenalkan aku padanya.
“Hai, apa kabar..aku Tom. Thomas actually…”, katanya ramah, tangannya menjabat tanganku.
“Hai Tom…Lila”.
Aku tidak tahu bagaimana tepatnya mendiskripsikan dia. Tinggi, kulit putih, rambut ikal cepak, mata coklat. Lucunya, aku dan dia tahu nomor telepon satu sama lain bukan dengan bertanya langsung, tapi melalui Dinu. Semenjak itu, aku dan dia jadi sering ketemu. Disengaja atau tidak. Sampai pada suatu saat dia berani mengajakku keluar, hanya berdua. 

Hingga, disinilah kami. Di sebuah taman di pinggir kota, bercerita, merokok, menyanyi, tertawa, minum bir yang di beli di circle K. Tempat ini bukanlah tempat yang nyaman untuk menghabiskan waktu karena nyamuk-yang-entah-apa-jenisnya-yang-pasti-beda-dengan-nyamuk-dirumah sangat ganggu dan membuat kami jadi seperti sedang berlomba tepuk dan garuk untuk menghilangkan rasa gatal di badan masing-masing. Apa boleh buat. Dia tidak bisa mengantarku pulang karena kuatir aku akan dimarahi pulang selarut ini. 

“Kenapa kamu ga ngijinin aku untuk jatuh cinta sama kamu…”
“Karena kemarin kamu punya pacar”
“Sekarang aku putus sama dia, kamu juga ga mau berhubungan lebih sama aku”
“Kamu tahu aku, aku belum lulus kuliah, aku belum bekerja, mana mungkin aku bisa membahagiakan kamu…”
“Di dekatmu saja aku sudah bahagia, seperti saat ini”
Dia menciumku dalam pelukannya.

*******

Aku menciumnya dalam pelukanku. 
Baru saja ia menanyakan kenapa aku tidak membolehkannya jatuh cinta padaku. Aku tidak tahu kenapa. Aku suka berada di dekatnya. Aku merasa nyaman. Ia suka memanjakan aku. Maksudku, ia seperti mengurus aku tapi tak pernah menggurui apalagi sok tua dan bossy. Mungkin karena aku cuma punya 3 saudara, dan mereka laki-laki semua. By the way, Ia cantik, mata sayu, berambut panjang, langsing, dengan kulit kecoklatan, dan aku sangat menyukai aroma parfumnya. Tapi aku belum mampu untuk berhubungan dengannya. Aku tidak ingin menyakitinya.

“Hey Tom, liat cewe arah jam 9. Kayanya dia naksir lu…”, Ben teman kuliahku menunjuk seorang gadis yang melihatku lama. Well, aku memperhatikan dia juga. Cantik. Aku sangat suka melihat gadis cantik dan berkulit putih. Mereka terlihat…”bersih”.
“Apa perlu nih gua yang jadi perantara buat kenalan?”, katanya lagi.
“Ga perlu bro…dia cuma enak diliat. Coz, spertinya dia agak kosong”, aku menyeruput milk shake di hadapanku.
“Kosong maksud lu?”
“Dummie..alias Bego…”, aku tersenyum pada gadis itu. Dan ia membalas senyumanku. 
“Oh come on, lu kenal aja belom”
“Ga perlu kenal dulu untuk tau karakter seseorang”
“Oh yeah, and what you are now…an indigo person, or  just a pshycologist?”
“Haha..maybe..”
“Wait...ada hubungannya dengan Lila?. Oh Tom, jangan bilang lu suka ma dia. Dia 5 tahun lebih tua dari lu, dan jelas-jelas dia butuh komitmen. Gua percaya lu bukan the “one” person. Lu orangnya gampang banget jatuh cinta man…”
“Tapi gua nyaman ma dia…meski gua mang belom punya pikiran buat pacaran ma dia”. Pikiranku menerawang. Aku melihat jam di tanganku, menunjuk angka 11.26. Kira-kira sedang apa ya dia. I’m gonna text her…

Message to: **Lila**
Hunz, lagi kerja ya…jangan telat maem lo:-*
Sent

“Listen to me…”, Ben terus menyerocos, ”Having a real girlfriend, will force you to learn ‘bout responsibility, sacrifice, being faithful, taking into account somebody else’s feelings, not just your own. And I don’t think you are ready for that…”

1 new message
from: **Lila**
Allo hunz, yeap im doin my work as usual. Okay, I won’t late. Take care…:)

Itu adalah percakapan seminggu lalu. Yap, Mungkin Ben benar. Aku sama sekali belum siap berkomitmen. Tapi selama ia tidak menuntutku apa-apa, aku ga mau kehilangannya. Dan disinilah kami sekarang. 3 bulan setelah kami berkenalan, aku mulai sayang padanya. Terlebih ternyata ia baru putus dari pacarnya.

“Dengerin aku hunz…aku tau kamu bahagia begini, tapi ini ga akan bertahan lama. Kamu akan butuh lebih dari ini, dan aku benar-benar belum bisa kasih”. 
Ia melepas tubuhnya dari pelukanku. Dan hal yang paling tidak aku suka terjadi saat ia berkata,
“Kamu ga suka ya sama aku. Aku tau aku ga secantik cewek-cewek itu. Temen-temen kamu yang SPG, model ato vokalis…”
“Sssstt…kamu ga seharusnya bilang kaya gitu. Kamu cantik. Dan buat aku fisik bukan nomer satu…”, aku menyela kata-katanya.
“Oh really, bukannya cowok tu makhluk visual, yang pastinya melihat wanita dari penampilannya lebih dulu…mana mungkin kepribadiannya keliatan, kecuali kalo tertulis di jidatnya mungkin…”, Ia tampak kesal,“Di sebelahku aja bisa-bisanya kamu bilang ‘wow, cantiknya’ ke cewek yang melintas di depan kita”.
“Haha…ada yang jeles nih”, aku mencubit pipinya dan menciumnya sekali lagi.
“In your dream, beyb”.
“Aku berdoa biar kamu cepet ketemu ma calon suami yang bisa bahagiain kamu”
“Yah, semoga kamu juga bisa dapet pacar yang baik”. Ia menghela nafas, dalam.
Aku tahu kami berdua ga ingin mengatakan hal ini, karena rasanya agak menyakitkan.
“Tapi untuk sementara ini, jangan pergi dari aku ya…”, kataku.
Dia tidak menjawab. Cuma menatap mataku lalu menjatuhkan dirinya kembali ke pelukanku. Di taman kota yang semakin pagi semakin dingin dan hanya bintang-bintang yang menerangi keberadaan kami. 


the story about me and Aris Yahya Zulqarnain
by Claudia Friesca Wirjoatmodjo on Thursday, October 22, 2009 at 10:01am ·

No comments:

Post a Comment