Tuesday 23 August 2011

penantian rahasia

Disini ku seorang diri, berteman gelisah hati
Selalu kunantikan dia melintasiku
Aku bahagia meski hanya memandangmu

“Nanti mas Rama bakal mampir, ngasih uang arisan mamanya. Kamu yang terima ya, mama mau belanja dulu,” Mama mengecup dahiku, lalu meninggalkan aku yang sedang berbinar.
Mas Rama kesini. Aku ga boleh keliatan belum mandi gini.
Aku berlari mengambil handuk lalu masuk ke kamar mandi.
Mas Rama muncul di hadapku 20 menit kemudian.
“Mas, kata mama kasih aja duitnya di aku,”
“Ah, tar ilang lagi…mang kamu udah bisa simpen duit?” katanya sambil mengacak rambutku.
“aku kan sudah kelas 4 mas, masa duit segitu aja ga bisa jaga,” aku cemberut
“Haha..tetep aja, kamu masih belum SMP. Ya udah ini,” dia menyerahkan beberapa lembar sepuluh ribuan.
“Besok minggu, jangan ga bangun pagi. Kita spedaan kayak biasanya. Aku bakal kasi tau yang laen, ok!” lanjutnya.
Dia pamit.

Aku senang. Meski sudah masuk SMP, mas Rama tetap mau jalanin salah satu kegiatan rutin anak-anak sekomplek tiap hari minggu. Biasanya kami; aku, mas Rama, mas Danu dan adiknya Lala, Tyas, Enda, dan beberapa yang lain bersepeda ke daerah kampus teknik negeri yang dekat dengan perumahan tempat kami tinggal. 
Kegiatan yang buatku bisa memandangnya lama, bicara dan bercanda dengannya.

Tiap aku di hadapmu, tuk coba rengkuh hatimu
Tapi pandangmu slalu saja tetap terhalang
Burukkah aku hingga tak terlihat olehmu

Sudah 4 tahun aku meninggalkan perumahan itu. Pindah ke perumahan lain. Meski telah pindah, selama itu aku masih rutin mengunjungi teman-temanku di komplek yang lama. Juga mencari-cari alasan untuk bisa bertemu dengan mas Rama.  Tapi, mas Rama yang makin gede mulai tak menghiraukan aku. Sibuk dengan kegiatan sekolah. Sampai suatu saat aku mampir ke rumahnya. Tante Sita, mas Rama dan seorang gadis cantik berambut pendek sedang makan siang bersama. Dikenalkan sebagai pacar pertama mas Rama.
Setelah itu, aku tak pernah lagi ke sana. Aku hidup berpindah-pindah mengikuti pekerjaan Ayah. Hilang kontak dengan teman-teman masa kecilku.

Telah lama aku, disini menunggumu
Tapi kau tak pernah tahu bahwa hatiku mencintaimu
Ingin ku teriak, kepada seluruh dunia
Agar semuanya tahu bahwa diriku mendambakanmu

Satu persatu aku temukan pada salah satu situs pertemanan. Sudah hampir 15 tahun kami ga ketemu. Yang perempuan-perempuan, kebanyakan sudah menikah, punya anak, tinggal bersama suami. Begitu pula yang laki-laki. Ada yang sudah menikah, ada yang jadi musisi, ada yang sukses bekerja di luar pulau, ada yang mengajar di luar negeri. Watta life…
Aku menemukan account mas Rama paling buncit. Karena meski aku sangat kagum padanya dulu, aku tak pernah berpikir untuk mengingat nama panjangnya, tanggal lahirnya, atau informasi lain mengenai dirinya. Atau dulu aku tahu, aku catat, tapi aku lupa menaruhnya dimana. Setelah lulus SMA, dia pindah ke luar kota untuk melanjutkan ke perguruan tinggi disana.
Terlihat dalam foto, wajahnya tak berubah. Matanya, senyumnya. Mungkin pengaruh dari seorang wanita cantik dalam pelukannya, yang belakangan aku tahu dari mama, adalah tunangannya.
Aku klik tombol Add as friend.
Dia meng’ignore-ku.
Aku klik lagi tombol Add as friend setelah aku mencantumkan private message, yang isinya mengingatkan siapa diriku.
Dia tetap meng’ignore-ku.
Aku kecewa. Entah apa alasannya, dia tampak seperti tidak ingin berhubungan dengan teman lamanya…yaitu aku. Karena teman-teman masa kecil yang lain sudah tampak nyaman berada dalam friendlist-nya.

Betapa letihnya hatiku menanti akan cintamu
Cinta yang aku tahu pasti tak mungkin terbalas
Akankah aku hidup dalam penantianku

Dia memang pada akhirnya bukan satu-satunya pria yang pernah aku damba. Beberapa orang telah masuk dan keluar dari hidupku. Tapi dalam hati, ‘cinta monyet’ku padanya masih ada, belum pernah padam. Aku menerima keadaan telah berubah sejak kepindahanku. Aku menerima keadaan kehilangan waktu untuk bersamanya di saat dulu. Dan sekarang yang aku ingin hanya, mengutarakan perasaanku yang sebenarnya, hingga aku tak perlu menyimpannya seumur hidup. Tak perlu jawaban.

Kesempatan itu tak pernah ada. Akhirnya saat dia melangsungkan pernikahan, aku mengubur dalam-dalam perasaan itu. Sudah tak sepatutnya aku mengharapkan dia.


~taken from Penantian Rahasia by Maia~

No comments:

Post a Comment