Tuesday 19 June 2012

Aku wanita Kartini, bukan berarti aku tak patuh pada suami

Jangan sampai air mata melunturi eyeliner dan bedak di mata dan pipiku. Aku tak sabar segera menyelesaikan pekerjaan ini, pulang lalu bebas memendamkan mukaku di atas bantal agar suara sesenggukan tak terdengar oleh siapapun dan tentu saja, hemat tisu. Pertengkaran terakhir sukses membuat aku tak dapat tidur semalaman.

Kamu tahu, bahwa ketika aku tidak dapat mengkompromikan lagi mana yang harus kupilih, impian atau cinta, aku menyerah. Aku menyerah pada dua-duanya. Aku tidak mampu memilih salah satunya.

Impianku, aku berharap kamu ada disaat aku meraihnya. 

Cinta, yang itu kamu, adalah inspirasiku untuk bisa menjadi "seseorang".


Kalian berhubungan, tidak bisa dilepaskan. 

Kalian terikat, tidak bisa dipisah.

Kamu tidak bisa memaksa aku untuk memilih. Jika aku tetap menjalani mimpiku, percayalah aku tidak akan melangkahi kamu. Aku tidak akan tidak menghiraukan kata-kata juga nasehatmu. Percayalah...

Sekali lagi, wanita adalah makhluk yang tercipta dari tulang rusuk lelaki. Wanita, setinggi apapun kedudukannya dalam masyarakat, sepandai apapun intelegensinya, wajib patuh kepada lelaki (suami). Tapi hak tetaplah hak, pria dan wanita sama-sama memilikinya.

Kartini membela hak setiap wanita. Tapi tak ada yang menyebutkan, Kartini bercita-cita perempuan itu harus seperti pria, bukan begitu?. Itu karena Kartini pun faham fitrahnya. 

Wanita layak dipimpin, dituntun, dan dilindungi oleh pria. Tetapi, itu bukan berarti pria harus menginjak-injak hak wanita, melainkan dihormati.

Yang kami jalani sekarang adalah sebuah miniatur dari pernikahan. Hanya karena aku mengatakan apa yang aku percaya dan anggap benar, aku lalu dianggap "tidak memiliki kualitas sebagai calon istri yang baik". Bagaimana kamu bisa menilai jika melakukannya saja belum pernah?.

Satu jam lagi menuju jam pulang. Aku hanya ingin menekuri layar laptop di depanku. Tak menghiraukan dering blackberry messenger berulang kali.

Karena tak ada yang dari kamu. 

Air mataku meleleh, akhirnya. 

2 comments: