Wednesday 23 March 2011

jalan menuju tanggal terpilih

(Maret, 2004)
Dito dan aku pacaran lebih dari 2 tahun. Putus dan sambung kerap mewarnai, karena ujung-ujungnya kami selalu merasa bahwa kami saling membutuhkan satu sama lain. Saat akhirnya aku lulus duluan, ia masih dengan setia menunggu di depan auditorium hingga prosesi wisuda selesai. Aku, 21 tahun, berkesempatan untuk bekerja lebih dulu. Tak memikirkan pernikahan seperti teman-teman perempuanku yang lain. 

Aku telah memilih tanggal, bulan dan tahunku sendiri. Yah, masih 6 tahun lagi. Masih banyak waktu menata hidup terlebih dahulu. Tapi Dito tak terlalu peduli dengan itu. Padahal dia pernah gembar-gembor suatu hari nanti ingin menikahiku, dan punya anak dari rahimku karena sangat penasaran bagaimana wajah bayi perpaduan antara kami.

(Desember, 2006)
Setelah 12 hari mengurung dalam kamar, 62 hari berusaha menyibukkan diri di kampus, aku memutuskan untuk berlibur ke Malang. Mendinginkan pikiran. Atau lebih tepatnya mendinginkan otak, agar sedikit bisa melupakannya.

Suasananya menyenangkan. Aku menginap di rumah Aunty T, adik perempuan mama, dimana ia membuka kafe steak dan pasta, jadi setiap sore aku disodori makanan enak gratis. Pengen jalan-jalan, ada Eron teman friendster-ku yang siap menemani. Bosan jalan-jalan, aku membeli buku novel untuk kubaca di kamar.

Hingga suatu malam, handphone-ku berbunyi. Sebuah pesan singkat dari Dito, yang baru 2 minggu putus denganku langsung punya pacar baru, mengetikkan…”aku kangen kamu, dia sama skali berbeda denganmu”. Aku lalu membalas, “Setiap orang berbeda. Tapi aku yakin, ia memiliki kualitas sendiri yang aku tak punya untuk membahagiakanmu. Nite…”

Setelahnya, aku merasa menang. Tak ada sesal, tak ada sedih. Dia ga akan mendapatkan orang sepertiku lagi. Yang ada hanyalah, lebih buruk dariku, atau jauh lebih baik dariku. Yang kedua-lah yang jadi doa buatnya.

(November, 2009)
Aku dan Dito masih bersahabat. Meski terlambat lulus, kini ia punya karir yang bagus. Sudah putus dengan pacarnya yang setelah aku dan sudah ada pacar baru lagi.

Aku, tetap dengan hidupku yang penuh dengan rutinitas, bagai mimpi menjadi kenyataan, bahagia dengan pria yang kucintai dan mencintaiku melamarku malam ini, setelah setahun kami berhubungan. Orang tua kami ribut menentukan hari baik sesuai dengan adat dan agama untuk pernikahan kami, tapi aku bersikeras, aku menginginkan tanggal, bulan, dan tahun pilihanku. 11 bulan lagi. Mereka tidak setuju. Mereka pikir itu waktu yang terlalu lama setelah lamaran berlangsung. Semua kekuatiran, hal buruk bisa saja  terjadi. Untungnya tunanganku, Alka, mampu meyakinkan  mereka bahwa kami akan baik-baik saja. Aku sungguh beruntung memilikinya. Ia akan jadi calon suami dan calon ayah yang baik.

(Mei, 2010)
Alka sedang dalam perjalanan menjemputku dari kantor. Kami hendak memesan undangan di salah satu percetakan rekomendasi teman Alka. Satu jam setengah menunggu. Tumben Alka terlambat, pikirku. telepon dari Mama membuyarkan lamunanku. Beliau mengabari Alka berada di ruang UGD setelah mengalami kecelakaan mobil. Aku panik, secepatnya sambil berlari memanggil taksi yang melintas di jalanan depan kantorku. Mama berkata ia sadar dan baik-baik saja. Nafasku yang tadinya tersengal-sengal, kini  berangsur memelan dan stabil.  

Tapi begitu sampai di rumah sakit, aku melihat pemandangan yang sama sekali berbeda dengan pikiranku. Tante Rahayu dan Om Peter, mama dan papa Alka menangis dan kemudian memelukku. Mama dan Ayah pun menyusul mendekapku. Setelahnya aku baru tahu, tubuh Alka telah terbujur  kaku di hadapanku dan sebagian tubuhnya tertutup selimut putih.

Aku menangis. Aku berteriak. Aku tak sadarkan diri.

(10 Oktober 2010)
Hari minggu yang mendung. Hari yang seharusnya menjadi hari bersejarah dalam hidupku dan hidupnya. Hari yang aku nantikan sekian tahun. Hari yang aku bayangkan semua teman, kerabat dan keluarga berkumpul, menyaksikan kami berjanji sehidup semati di rumah Tuhan, bernyanyi dan berdansa bersama mengakrabkan suasana di malam resepsi yang sarat dengan nuansa putih, bunga lily menghias setiap meja dan lilin di sekitar danau buatan.

Tapi disinilah aku sekarang, di depan tempat peristirahatan Alka yang terakhir. Terpisah alam, dimensi dan waktu. Tak mau lagi aku menangis di hadapannya. Ia sudah pasti tenang dan bahagia, aku tidak ingin merusaknya. Aku harus kuat. Semenit setelah menabur bunga dan berdoa, aku berjalan pulang.

10-10-10 mungkin bukan jatahku. Bukan kebahagiaanku. Tuhan pasti memberi waktu lain yang lebih indah untukku nantinya. Tapi untuk sementara, biarkan aku mengenang Alka. Selanjutnya, aku pasrah.

No comments:

Post a Comment