Monday 14 March 2011

tak seindah bayangan

Aku tidak pernah membayangkan hal ini sebelumnya. Yang ada di anganku adalah aku menikah muda dengan seorang laki-laki yang aku cintai, mengenakan busana pengantin yang aku desain sendiri, memilih bunga, dekorasi, tema foto pre-wedding, undangan, gedung dan sebagainya sesuai keinginanku dan calon suami.

Nyatanya, aku tidak perlu memikirkan semua itu. Calon mertuaku sudah menunjuk sebuah wedding planner untuk mengurus semuanya, termasuk soal biaya. Aku cuma menunggu beres. Biasanya dalam adat jawa, pihak perempuan lah yang seharusnya menjadi penyelenggara pernikahan, atau kedua belah pihak keluarga patungan, atau kami sendiri yang akan menikah lah yang membiayai semua. Tapi tidak untuk satu ini. Aku dan keluargaku dilarang mengeluarkan uang sepeser pun dan nantinya “isi gentong” pun akan menjadi milikku dan suami..

Semua temanku berpendapat, “Enak banget lu dapet mertua tajir kayak gitu?!”
“Tinggal ongkang-ongkang kaki doank dong…”
“Beruntung lo, Wi…keluarga calon lu baik. Ga kayak gue dulu…”
bla..bla..bla…

Bila dilihat dari satu sisi, aku memang beruntung. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah, aku akan menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Parahnya, calon suamiku juga masih mencintai wanita lain yang orangtuanya tidak restui.

Semua berawal dari lamaran non-formal Dion, kekasihku setahun yang lalu. Ayah dan Ibu tidak banyak berkomentar hingga saat Dion pulang, mereka mengatakan agak keberatan menerima Dion sebagai calon suamiku. Hanya karena Dion yang berkepala  botak dan memiliki pekerjaan yang (bagi mereka) belum mampu mengimbangi aku yang sebagai manajer promosi di sebuah perusahan periklanan terbesar di Indonesia. Padahal dengan Dion aku sudah merasa cocok, kami sudah se-misi dan visi merencanakan masa depan. Aku kecewa. Daripada hubungan diteruskan tanpa restu, kami pun berpisah.

Beberapa bulan setelahnya, aku kembali dekat dengan seseorang. Dia anak baru di kantor. Rangga-seorang fresh graduate. Sebenarnya aku agak sungkan berhubungan dengan perbedaan usia juga posisi di kantor, tapi dia tampak santai menjalani semuanya. Begitu aku menyampaikan kedekatanku dengannya, orangtuaku serta merta protes.

“Gimana toh kamu, nduk…kamu cantik, karir cemerlang, kok ga bisa cari jodoh yang…apa ya istilahnya, Pa…se-cemerlang kamu lah. Sepadan gitu. .”ujar Ibu sambil menatap Ayah yang sedang manggut-manggut tanda setuju.

Aku tidak pernah bisa memahami mereka. Ini yang mau menikah kan aku, bukan mereka. Sekeukeuh-nya aku menjelaskan, mereka tidak mau mengerti. Pokoknya calon-ku harus ganteng, kaya, dan sayang sama keluarga.

“Aku menyerah. Ayah dan Ibu saja yang memilihkan jodoh untukku…”

Tidak sampai seminggu, mereka memperkenalkan Alif, 30 tahun, anak dari seorang kolega Ayah. Aku benar-benar menyerah, terlebih adikku satu-satunya juga ingin segera menikah tetapi tidak mau melangkahi kakaknya. Kelihatannya dia juga begitu. Jika memaksa berhubungan dengan pacarnya itu, dia akan diusir dari rumah dan dicoret dari daftar ahli waris. Alif tipikal pria manja, tidak bisa hidup sederhana karena sejak kecil telah dibanjiri dengan kasih sayang dan harta keluarga.

Mungkin, tidak semua pasangan yang dijodohkan tidak akan bahagia. Seiring dengan waktu, cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya. Aku percaya itu. Aku sendiri berharap bahwa aku akan bisa mencintai Alif seperti aku pernah mencintai Dion. Tapi ternyata tidak. Alif bertemperamen keras. Ia kerap memukulku. Bahkan saat bercinta, ia memanggilku dengan nama mantan pacarnya.

Aku merintih. Ayah, Ibu…seperti inikah hidup yang kalian anggap “cemerlang”??

Pieqa ™

No comments:

Post a Comment