Saturday 12 March 2011

kompromi?

Aku membuka mata. Tak kulihat Abi tidur di sampingku. Kulihat jam meja di samping kanan tempat tidur, pukul 01.14 pagi. Mungkin Ia ada di kamar mandi, pikirku. Dengan mata mengantuk terhuyung-huyung aku berdiri dan mengambil jubah tidurku lalu berjalan keluar kamar.

“Hmm...isi meja makan masih utuh. Kamar mandi pun kosong. Kemana Mas Abi jam segini ya..” tanyaku dalam hati setelah memeriksa kamar mandi.
Ku ambil telepon genggam lalu memencet angka 2 sebagai speed dial nomor telepon Abi.

“Halo sayang...” akhirnya Abi mengangkat teleponnya setelah nada tunggu ke tujuh. Suara di belakangnya sangat bingar. Ramai.
“Halo, aku pikir kamu sudah ada di rumah”
“Maaf, tadi aku sudah mau pulang tapi Steve tiba-tiba ngajak bilyard. Ga enak juga nolak, kami udah lama ga ketemu” Steve teman kuliah Abi saat di Sidney. Kemarin Abi sempat cerita bahwa Steve ada urusan bisnis di Indonesia dan menghubungi Abi untuk mengatur pertemuan. Tak kusangka malam-malam begini...
“Kenapa ga mengabari dulu, paling engga sms aja...”
“Aku kira kamu sudah tidur. Bukannya kamu sudah pamit mau tidur duluan”

Aku membereskan makan malam yang aku siapkan untuk Abi. Bila pulang selarut ini ia tidak akan makan lagi dirumah. Setelah itu aku mencoba untuk tidur kembali, tapi tidak bisa. Menghitung domba lompat pagar pun tak mampu membuatku mengantuk. Cuma Abi yang ada di pikiranku. Bukan aku tidak percaya atau tidak suka ia bersenang-senang sendiri, aku cuma kuatir dengan keadaannya. Abi ringkih, mudah sakit, dan tentunya besok ia harus kembali bekerja...

Dua jam kemudian, ia datang. Dengan wajah letih luar biasa tapi senang. Seperti biasa, ia mengecup keningku.
“Kenapa kamu ga tidur lagi?” Abi duduk dan melepas sepatu.
“Aku ga bisa tidur. Gimana kabar Steve?” Aku mengambil tas kerja dari pundaknya dan menaruh di atas kursi.
“Dia baik, tetap seperti dulu. Masih membujang, dan pandai merayu wanita. Masa tadi dia berusaha mengenalkan aku sama seorang score girl, dia lupa bahwa aku sudah menikah hahaha...” katanya sambil menanggalkan kemeja dan menggantinya dengan kaos putih polos.
“Lucu ya...” aku cemberut.
“Sayang, kamu kenapa? Kan aku ga ikutan godain cewek-cewek itu”
“Mana aku tahu. Kamu ngabarin aja enggak. Apalagi flirting, mana mau kamu laporin ke aku”
“Aku kan sudah bilang, ini ga aku rencanakan dan mungkin kamu sudah tertidur. Aku takut bunyi telepon atau sms ku akan  membangunkanmu. Toh aku tetap akan pulang”
“Justru kamu ga sms aku malah kebangun kan. Dan liat hasilnya, lebih fatal dibanding kalo kamu ngeluangin aja waktu semenit untuk sms”
“Aku kan sudah minta maaf...”
“Kamu sudah berkali-kali minta maaf tapi mengulanginya terus. Seluruh ucapanmu ga ada yang bisa dipercaya dari dulu...bulls**t!” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Gosh...
Stop saying like that, Tita. Kenapa dulu kau mau menikahinya jika ia cuma bisa omong kosong. Kau tahu kau mencintainya. Begitu pula ia padamu.

Aku merebahkan diri di tempat tidur memunggunginya. Aku tahu, bahwa ia tak sepenuhnya salah. Mungkin aku yang terlalu saklek dalam hal kecil ini. Apapun, dimanapun dan kapanpun aku mengharap Abi sms dan mengabari. Orang lain pasti berpendapat, aku kayak satpam aja. Kerap seperti wajib lapor dan menginterogasi pasangan sedang ada dimana atau dengan siapa, bertanya sudah makan belum dan menyuruhnya segera makan padahal ia juga bukan anak kecil. Ia orang dewasa yang tahu kapan harus makan setelah merasa lapar. Tapi selalu saja ada perasaan kuatir dan membutuhkan rasa aman.

“Maafin aku Tita, aku ga bermaksud untuk tidak menghargai keberadaanmu. Aku salah, berulang kali...tapi aku ga akan menyerah untuk memperbaiki sikapku. Met malem” ujarnya di balik punggungku.

“Maafin aku juga terlalu keras padamu, Abi. Mimpi indah” jawabku dalam hati.

Pieqa ™

No comments:

Post a Comment